Kamis, 17 September 2015

Catatan Lama dari Lapindo


#Repost

Apakah tulisan ini sekarang sudah berganti? (dokpri)
Di siang panas yang menyengat itu, bis kami akhirnya terparkir di pinggir lokasi bencana lumpur Lapindo, Sidoarjo. Ini kunjungan pertama saya. Kami disambut dengan spanduk yang bertuliskan, "Wisata Lumpur Lapindo, Sidoarjo," dan beberapa pria yang katanya bertugas sebagai penjaga pintu masuk ke lokasi.

Sedikit kurang setuju dengan kata "wisata" yang tertulis di situ.
Pemahaman saya tentang kata "wisata" adalah berkunjung ke tempat-tempat yang identik dengan keindahan. Ini lokasi bencana. Banyak rumah-rumah penduduk yang terbenam lumpur. Aroma bau yang menusuk hidung, serta pemandangan memprihatinkan dari banyaknya kepala keluarga yang kehilangan pekerjaan. Mereka beralih menjadi tukang ojek demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kira-kira pantas nggak ya, kata "wisata" diletakkan di depan kata lumpur lapindo?
 
 
Gaya saya sudah kayak tukang foto profesional, yes? ^_^

Klik! Klik!
Seperti tukang foto ahli, saya pun sibuk membidik ke sana ke mari. Ini sebagai bukti/kenangan kalau saya pernah datang ke sini.
Selanjutnya kami juga diserbu tukang-tukang ojek yang menawarkan tumpangan untuk melihat lokasi lebih dekat. 


"Kalau mau lihat yang lebih dekat, bisa diantar naik ojek bu," kata tukang ojek menghampiri kami. Teman-temannya yang lain pun serentak menawarkan jasa ojek kepada ibu-ibu yang ikut di rombongan kami.
"Berapa Mas?" tanya saya tak mau mikir panjang.
"20 aja, Bu. Nanti diantar sampai ke sebelah sana," jawabnya menunjuk atap-atap rumah yang sudah terendam lama.
Tapi, bukan ibu-ibu namanya jika tak menawar sebelum membeli. Akhirnya, kami sepakat 15 ribu per ojek.

Tukang ojek saya lumayan ramah (atau memang sudah seharusnya begitu kali ya ^-^).
Begitu saya naik, dia mulai bercerita. Suaranya sesekali terbawa angin panas, hilang timbul terdengar di telinga saya. Namun saya berusaha keras menyimak. Motornya terus melaju, saya dan tukang ojek itu berada di urutan paling bontot pada iring-iringan ojek tersebut.

"Itu yang atapnya tinggal sedikit keliatan, rumah saya, Bu,"
"Astaghfirullah. Itu dulunya rumah-rumah penduduk ya, Mas," sela saya terperanjat.
Meskipun pernah melihat gambaran ini di tivi, tapi melihatnya langsung tentu berbeda kesannya.
"Ya Bu, kami yang jadi tukang ojek, tukang jaga pintu masuk lokasi semuanya penduduk yang rumahnya terendam lumpur," katanya menjelaskan di sela-sela deru mesin motornya.
"Sekarang tinggal dimana, Mas?"
"Buat rumah-rumah kecil, Bu, asal bisa dibuat tempat tinggal aja," jawabnya memelas.
"Setahu saya sudah ada rumah yang dibuatkan pemerintah untuk para korban kan?" pancing saya mulai ingin tahu.
"Kami gak mau rumah itu!" Suaranya sedikit meninggi.
"Lho, kenapa? Tadi saya sempat lihat dari kejauhan rumahnya lumayan rapi kok, Mas," kata saya menyela.
"Ya, tapi kami tidak bisa tinggal di sana, Bu. Kami sudah biasa hidup bertani," katanya lagi. Saya semakin semangat mengorek alasan yang lebih masuk akal (akal saya maksudnya...).
"Bisa saja terus bertani, tapi keluarga, maksud saya istri dan anak-anak tinggal di sana, lebih bersih lingkungannya. Seminggu sekali kan bisa pulang melihat keluarga. Jaraknya nggak begitu jauh kan dari sini?" kata saya lagi.
"Ya, pokoknya gitulah, Bu. Nggak ada yang mau tinggal di sana. Ibu tahu, dari 400 rumah yang disediakan, paling-paling cuma 20 keluarga yang mau menempati. Kami mintanya diganti uang aja!" katanya tegas.
"Kalau diganti uang, apa cukup buat rumah sendiri?" tanya saya terus, ingin tahu responnya.

Sisa bangunan yang di sebelah kami itu adalah bagian atas musholla (dokpri)

Kami pun sampai di lokasi yang ditunjuknya tadi. Obrolan terputus sesaat. Di sini, lumpur yang dulunya meluap, menenggelamkan rumah-rumah, tempat ibadah penduduk, sudah mengering dan keras. Sehingga bisa dilalui kenderaan bermotor.
Ada rasa takut menyergap saya. Siapa tahu lumpur keras yang kami injak amblas tiba-tiba. Untung saja mereka meyakinkan kalau lumpur lapindo itu sudah seperti aspal kerasnya, sehingga kami berani bertahan.

Klik! Klik!
Saya kembali mengambil gambar. Tapi di kepala saya masih tersimpan pertanyaan mengapa mereka bersikeras tak mau pindah saja dan memulai kehidupan baru yang lebih layak?
Setelah selesai melihat lokasi dari dekat kami memutuskan untuk kembali ke bis.
Suara mesin iring-iringan ojek pun kembali membisingkan telinga. Matahari siang itu terus saja menggigit kulit kami. Tapi, panas yang kami rasakan tak sebanding dengan kepanasan yang mereka derita selama ini.

"Tadi Ibu nanya apa ya?" sambung tukang ojekku lagi.
"Hmm...kalau diganti uang, apa cukup buat rumah tinggal baru?" tanya saya mengingat pertanyaan yg terputus tadi.
"Cukup gak cukuplah, Bu, tapi kami puas. Kami nggak mau dipaksa pindah ke tempat yang tidak cocok buat kami," katanya lagi.
"Maaf ni Mas, kalau ada kesempatan buat peningkatan taraf hidup kenapa gak dicoba aja?" tanya saya mulai berani, padahal dalam hati ciut juga. Jangan-jangan dia tersinggung dan menurunkan saya di tengah-tengah lumpur yang mengeras lalu membiarkan saya berjalan kaki sendiri menuju bis.
"Enggak apa-apa, Bu, makasih...tapi kami sudah cinta hidup di sini. Biarpun setiap hari mencium bau lumpur lapindo, tapi kami cinta," jawabnya dengan nada suara lirih.

Saya menyerah! Tak ingin berdebat lebih jauh. Itu pilihan mereka. 
Semoga janji pemerintah yang ingin memberi ganti rugi bisa segera dipenuhi secara menyeluruh. Aamiin.... [Wylvera W.]

Sidoarjo, 28 Juli '09

Catatan perjalanan lama saya saat berkunjung ke Sidoarjo


10 komentar:

  1. Saya pernah lewat daerah lumpur ini juga. Beda dr yg terlihat di tv. Saat lihat langsung rasanya lebih ngenes.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, beda banget. Campur aduk rasanya. Apalagi saat lihat rumah-rumah di seberang lokasi ini. Di dalam rumah-rumah mereka ubinnya retak-retak dan air yang tercemar lumpur lapindo itu merembes menebar aroma tak sedap. Bayangkan kesulitan yang mereka rasakan untuk mendapatkan air bersih.

      Hapus
  2. Memang nggak mudah kalau dah cinta dengan kehidupannya. Semoga saja segera selesai masalahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak ... kalau diingat-ingat sudah 9 tahun ya. Tapi belum kelar juga. :(

      Hapus
  3. Turut prihatin yang bisa saya lakukan...

    BalasHapus
  4. Sebagian orang mungkin terpasung kenangan sehingga tidak bisa melangkah ke depan,,, ^_^ Nah, anak cucunya yang hanya punya sedikit kenangan mungkin bisa berjalan atau berlari ke depan itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah, Mas ... kalau saja mereka paham akan masa depan keturunan mereka, keegoan tentang kenangan masa lalu yang susah dilupakan itu bisa bergeser sedikit ke arah yang lebih realistis (baca: berkorban untuk anak cucunya).

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...