Minggu, 24 Juli 2022

Perjalanan Panjang Menuju Cappadocia


Di awal menulis catatan perjalanan ke Turki ini, saya terlupa memberi satu informasi. Terkait dengan pandemi Covid-19, tentu ada yang bertanya-tanya tentang keamanan melancong di negeri itu. Setelah pandemi yang berkepanjangan, akhirnya pariwisata Turki perlahan bangkit kembali di masa New Normal. Sertifikasi pariwisata sehat yang telah diberlakukan di beragam sektor penunjang pariwisata (penerbangan, bandara, penginapan, transportasi umum, objek-objek wisata, dan restoran), sukses menarik minat turis untuk kembali menjadikan Turki sebagai destinasi perjalanan wisata. Ini terbukti ketika saya melihat begitu ramai wisatawan yang tersebar di tempat-tempat yang kami kunjungi. Maka, tidak salah jika rombongan kami pun tergiur ingin berkunjung ke negeri itu.

Sudah siap menyimak cerita saya berikutnya?

Baiklah, mari kita mulai. Selepas seharian merekam jejak peradaban di Ephesus dan Hierapolis, tour leader kami kembali membawa kami untuk beristirahat di Hotel Tripolis yang ada di Pamukkale. Hari yang melelahkan tentu saja mengantarkan kami pada tidur nyenyak dengan mimpi-mimpi indah. Masih mengikuti kesepakatan pembagian kamar. Saya pun masih sekamar dengan bestie tim redaksi Majalah Insani. Ini malam terakhir kami ternyata. Esok malam, saya akan tidur bersama bestie lainnya. Bukannya tidak setia ... hahaha, tetapi kesepakatan itu dibuat agar kami bisa menyatu satu dengan lainnya. 



Saya sempat teringat salah satu kisah Khalifah Umar bin Khattab rhadiyallahu’anhu. Dalam kisah itu dikabarkan bahwa salah satu cara untuk mengetahui jati diri seseorang dibutuhkan beberapa hal, salah satunya adalah dengan bersafar. Orang-orang yang bersafar seringkali menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan. Mulai dari rasa lelah, lapar, gelisah, sulit tidur, dan situasi tidak nyaman lainnya yang akan memaksa memunculkan sifat aslinya. Berdasarkan kisah Umar tersebut kita dapat mengambil hikmah bahwa kriteria seorang sahabat yang baik adalah; berakhlak mulia, wara’ (menjauhi hal-hal yang dimurka Allah), dan amanah (jujur). Rasanya kami mampu melewati “ujian” safar itu di 3 malam pertama dan 4 malam berikutnya. Alhamdulillah ....

Kembali ke cerita perjalanan kami.


Sesaat sebelum menikmati sarapan pagi di hotel itu, hati kami mendadak hangat oleh suguhan pemandangan di atas langit Tripolis. Balon-balon udara seolah mengerti bahwa kami masih menyimpan mimpi untuk menaikinya. Seakan memberikan semacam pemanasan. Dan rasanya tak mungkin kami lewatkan untuk mengabadikan momen itu. Klik! Klik! Beberapa sudut pengambilan foto tersimpan cantik di hape.


Restauran di hotel


Menurut Billy, salah satu tour leader kami, hari ini kami akan melalui perjalanan panjang menuju Cappadocia. Jarak tempuh dari Pamukkale menuju kota impian itu akan menghabiskan waktu sekitar sembilan jam. Maka, untuk memulai hari yang akan menguras energi, kami pun memanfaatkan hidangan santap pagi sesuai kebutuhan.


Sesaat sebelum meninggalkan hotel

View dari area hotel

Sebelum berangkat menuju destinasi berikutnya, kami masih menyempatkan untuk berfoto di sekitar hotel. Saya ingat kalau punya janji pada Billy. Buku bacaan anak berjudul "Teka-Teki di Museum Louvre" karya saya yang sehari sebelumnya ikutan berfoto di Hierapolis, saya hadiahkan untuk putra dan putri Billy. Semoga dua ananda suka dengan cerita di buku itu. 

 

Belanja lagi, makan lagi.

           Dalam perjalanan berikutnya kami diajak mampir ke dua toko yang menjual aneka busana, tas, sepatu, jilbab serta banyak lagi. Persinggahan ini demi mengisi durasi dan jarak tempuh yang lumayan jauh.

            Meskipun isi koper sudah menunjukkan tanda-tanda sesak, hasrat berbelanja ternyata jauh lebih kuat godaannya. Ada yang membeli kaus, sepatu, jaket, bahkan jilbab diskonan seperti saya. Yihaaa! Yang penting judulnya, belanja lagiii! Urusan kelebihan bagasi nanti sajalah. Hahaha ….




Hamparan lavender

            Setelah sesi belanja part kesekian, bis yang membawa kami pun kembali melaju melewati jalanan dengan hamparan tipis-tipis lavender. Tidak begitu rimbun namun warna ungunya tetap memancarkan warna berbeda. Lavender yang berasal dari Prancis ternyata tumbuh juga di Turki. Bahkan ada lokasi lavender yang tumbuh subur, namun kami tidak sempat mampir ke sana.


Peta Turki yang dipajang di dalam bis kami

            Tanpa terasa, waktu makan siang sudah mefet. Kami pun kembali mampir di salah satu restoran untuk menikmati hidangan makan siang berikutnya. Kali ini, menunya lumayan cepat akrab di lidah. Teksturnya seperti pizza. Aaah! Minim sekali pengetahuan saya tentang jenis makanan Turki ini. Maaf ya, Mr. Erdogan. Hehehe ….

            “Eh, kok enak ya? Mau lagi dong!”

            “Ini lumayan enak nih makanannya.”

            “Cuma butuh saus sambal aja.”





            Celotehan di meja makan mewarnai kebersamaan kami. Efek gembira bisa makan dengan nyaman, berakhir pada sesi foto-foto di meja makan dengan sisa-sisa hidangan yang nyaris kandas. Klik! Klik! Wajah-wajah kenyang pun terabadikan di ponsel.

 

Singgah di Karavanserai Sultanhani

            Turki merupakan salah satu negara tertua di dunia. Itu sebabnya, negeri ini banyak sekali menyimpan sejarah masa lalu, baik itu dari kisahnya maupun bangunannya. Salah satunya adalah Karavanserai Sultanhani, peninggalan Kesultanan Turki Seljuk yang masih bisa dijumpai di Kota Konya, Turki.

                                                                         



            Lokasi bangunan Karavanserai Sultanhani menjadi santer dan melegenda karena letaknya berada pada jalur utama perdagangan sutra Turki ke tempat-tempat lain. Bangunan yang juga dijuluki sebagai hotel gratis ini dulunya dijadikan sebagai tempat peristirahatan para pedagang dan karavannya setelah menempuh rute panjang.



            Jika dilihat dari sisi luar, karavanserai ini, tampak sama saja dengan bangunan tua di Turki pada umumnya. Bentuknya yang persegi panjang dengan dinding batu yang tinggi, menjadi ciri khas bangunan di Turki. Gerbangnya yang lumayan besar, terdapat gapura dengan dekorasi berbentuk melengkung dan tersusun sedemikian rupa.



Tak puas hanya melihat sisi bangunan luarnya saja, tiga orang dari rombongan kami memilih masuk dengan membayar 10 Lira. Murah sekali ya? Entahlah, saya juga heran. Keheranan saya langsung lenyap saat melihat bagian dalam karavanserai ini. Arsitektur  bangunan yang tinggi dengan kualitas bahan yang saya sendiri tak paham jenisnya. Yang pasti, saya terkagum-kagum.



Sembari berfoto, saya sempat menyapu pandangan ke seluruh area bangunan karavanserai ini. Terdapat beberapa ruang seperti kamar. Mungkin kamar-kamar itu dulu digunakan sebagai tempat beristirahat para pedagang dan musafir. Ingin rasanya mengeksplor lebih banyak lagi, namun waktu kami tidak cukup.


Saat ini, Karavanserai Sultanhani yang dibangun pada abad ke-8 Masehi ini, menjadi daya tarik para wisatawan. Jika dahulu kala dijadikan tempat persinggahan dan bertemunya para pedagang, kini menjadi lokasi kunjungan bagi wisatawan yang melintasi wilayah Konya, Aksaray, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Cappadocia.



Dari sejarahnya, ternyata bangunan ini pernah mengalami kebakaran. Beberapa bagian bangunannya kemudian direnovasi pada tahun 1278. Tentu saja Karavanserai ini bisa diakses dari beberapa tempat. Tergantung di mana anda memulai perjalanan saat melintasi bangunan bersejarah ini.

 

Tiba di Cappadocia

        Perjalanan panjang melewati waktu tempuh sekitar sembilan jam, semakin mendekati Cappadocia. Pemandangan di sisi kanan dan kiri jalan menambah rasa penasaran saya. Berharap esok agenda kami bisa terpenuhi dengan paripurna.


Yang terekam dari balik jendela bis


    Hingga akhirnya tibalah kami di Cappadocia. Kota yang menjadi salah satu mimpi saya ketika memutuskan untuk melancong ke Turki. Banyak cerita seru yang ingin saya simpan di blog saya ini. Siapkan diri untuk menyimak keseruan kami di Cappadocia. Sampai jumpa! [Wylvera W.]

Sabtu, 16 Juli 2022

Rekam Jejak Kusadasi, Ephesus, dan Hierapolis


          Tidur nyenyak semalaman di Hotel Marina, Kusadasi, disambut pagi yang cerah. Panorama laut yang sangat memanjakan mata terhampar nun jauh di seberang sana. Membuat semangat menyala-nyala untuk melanjutkan perjalanan berikutnya.


Mengagumi alam-Nya💓

                           

Sarapan dengan latar panorama yang indah 😍

Menu sarapan pagi kami yang disajikan ala prasmanan, tidak jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya tempat kami menginap. Yang mirip dengan makanan utama masyarakat Indonesia umumnya nasi. Walau rupanya sedikit berbeda, nasi selalu tersedia di sana. Turki menjadikan nasi atau mereka menyebutkan “pilavlar” sebagai salah satu makanan yang bisa disantap selain roti. Jenis pilavlar ini pun beraneka ragam. Saya tak hapal nama-namanya.



Sup

              

Saya jadi tertarik juga mencari-cari seperti apa makanan yang sempat saya cicipi di negeri yang dipimpin Mr. Recep Tayyip Erdogan itu. Selain pilavlar, sup juga sepertinya menjadi makanan andalan Turki. Ada yayla, sup khas laut mati yang berbahan campuran nasi, yogurt, dan kuning telur di dalamnya. Ada sup tarhana yang bercita rasa khas dan berkuah kental. Bahan dasarnya adalah gandum fermentasi dan yogurt. Dan masih ada jenis lainnya yang saya tidak tahu jenis dan namanya. Yang pasti, tidak semua dari rombongan kami bisa cepat akrab dengan aneka makanan itu. Saya juga lebih sering memilih menikmati dua telur rebus, salad sayur, dan buah untuk sarapan penambah energi di hari ketiga kami di Turki. 


Siap berangkat 😘
                    

Nah, hari ketiga ini kami bebas memakai warna baju. Biar berbeda-beda warna busana, tetapi kami tetap terlihat cantik jelita. Wuahaha ….

 

Merogoh kocek di toko jaket kulit.

Setelah sarapan dan berfoto ria di restoran, kami pun bersiap menuju destinasi berikutnya. Kami akan diantarkan menuju toko sekaligus tempat pembuatan jaket kulit. “Freya Russo” nama toko yang berlokasi di Sultaniye, Selcuk/Izmir, Turkey itu. Toko ini merupakan tempat pembuatan jaket kulit. Unggulan produknya berbahan dasar kulit bayi domba (baby lamb skin) yang terkenal di Turki.

    



Sesi opening dari managernya

Sambutan yang mengesankan bagi saya yang baru pertama kali mampir ke toko ini, memantik rasa penasaran. Kami disambut sangat ramah lalu diajak menuju ruang tempat mereka memeragakan jaket-jaket kulitnya. Kami disuguhi penampilan peragawati dan peragawan yang memamerkan koleksi jaket kulit buatan mereka. Setelah duduk, si manager toko pun membuka penampilan dengan penjelasan singkat tentang produk jaket mereka.



Kami diberikan lembaran kertas yang berisi angka-angka. Angka tersebut merupakan penanda terhadap nomor busana yang akan diperagakan. Kami bebas memilih nomor-nomor sesuai selera dan jaket yang dipamerkan. Begitu ternyata cara mereka memikat para pengunjung. Di akhir peragaan, mereka memberi kesempatan kepada kami untuk ikut memeragakan jaket-jaket kulit itu. Empat orang dari 21 rombongan kami pun terciduk dan ikut berlenggak-lenggok di atas catwalk.



“Hipnotis” awal yang luar biasa! Setelah tontonan peragaan busana, kami digiring menuju ke ruang display produknya. Wow! Di sana dipajang semua model jaket kulit buatan mereka. Selain memikat lewat peragaan busananya, penjelasan sang owner pun luar biasa.

                                 

Akhirnya hampir semua dari kami tergoda membeli produk jaket kulit itu. Tak terkecuali saya. Itung … itung … itung! Sreeet! Saldo rekening pun tersedot dengan sukses. Hahaha ….

 

Menyimak Jejak Peradaban Kuno di Ephesus.

Perjalanan berikutnya, Burak dan Billy (tour leader kami) mengantarkan kami ke kota kuno Ephesus. Kota kuno ini merupakan situs arkeologi ibu kota Romawi terbesar di Timur Asia. Nama Ephesus berasal dari bahasa Latin. Sebutan lainnya adalah Efesus yang dibangun pada sekitar abad ke-10 sebelum Masehi oleh koloni Attic dan Yunani Ionia. 

Begitu tiba di lokasi dan melewati gerbang pengunjung, kami langsung disuguhi sisa reruntuhan bangunan peninggalan peradaban Kota Ephesus.





Cuaca panas tak menyurutkan rasa ingin tahu kami tentang destinasi yang akan kami kunjungi itu. Begitu juga dengan ramainya para wisatawan yang lebih dulu tiba di lokasi tersebut. Meskipun awalnya sedikit ragu dan khawatir kulit terpanggang teriknya matahari, ditambah pandemi sejujurnya belum sempurna hilang namun sayang jika tidak menuntaskan penjelajahan kali ini.

        


Menurut catatan sejarah, Ephesus yang berlokasi di pesisir Barat Asia Kecil, dekat Selcuk modern, Provinsi Izmir, Turki ini, merupakan salah satu kota dari 12 kota anggota Liga Ionia pada masa Yunani Kuno. Pada masa Romawi, selama bertahun-tahun kota ini menjadi kota kedua terbesar di Romawi setelah Kota Roma.



Sisa bangunan Kuil Artemis

Ephesus dulunya terkenal karena adanya “Kuil (dewi) Artemis” (Temple of Artemis) yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Kuil ini menjadi ikon Kota Ephesus. Sayangnya, sisa bangunan kuil itu hampir tidak terlihat sebagai sebuah kuil. Hanya beberapa pilar bangunannya saja yang menjadi tanda bahwa kuil tersebut pernah ada di lokasi itu.

Kaisar Konstantin I membangun kembali hampir keseluruhan kota ini dan mendirikan tempat-tempat mandi umum yang baru. Dan akhirnya kota ini pun hancur karena gempa bumi pada tahun 614 Masehi. Kota ini terkubur dalam tanah dan ditemukan kembali melalui ekskavasi (penggalian pada tempat yang mengandung benda purbakala-red) oleh arsitek asal Inggris pada tahun 1869.

Walaupun yang bisa dilihat hanyalah reruntuhannya, gambaran kota yang megah dan terstruktur masih membekas. Kemegahan itu terlihat dari sisa-sisa bangunan, kelengkapan kotanya, serta puing-puing bahan bangunan yang digunakan. Kota peninggalan zaman Yunani dan Romawi Kuno ini merupakan peninggalan bersejarah yang dilindungi dan diakui oleh badan dunia PBB.


Temple of Hadrian

Dari sekian banyaknya sisa reruntuhan itu, terdapat satu kuil yang masih meninggalkan sisa jejaknya. Kuil Hadrian (Temple of Hadrian) yang merupakan salah satu gedung terindah di kota Ephesus pada masa itu. Kuil yang mulai dibangun pada awal abad ke-2 Masehi ini dipersembahkan untuk Kaisar Hadrian yang pernah berkunjung ke Ephesus dari Athena (Yunani) pada tahun 128. Kuil yang sempat hancur efek gempa bumi ini kembali dibangun pada abad ke-14 Masehi oleh Theodosius untuk menghormati ayahnya (Jenderal Theodosius). Bagian bangunan muka kuil ini ditopang oleh empat pilar korintin. Ada patung dada salah satu Dewi kota Ephesus (Dewi Tyche) pada bagian tengah lengkungan gerbang masuk. Di dalam kuil itu terdapat nama-nama dan patung para Kaisar Romawi yang pernah memerintah (293 - 305). Yang paling mengesankan, di atas pintu masuk, ada patung yang diperkirakan sebagai Medusa (makhluk mitologi Yunani berambut ular yang dapat mengubah orang yang menatapnya, menjadi batu).


Dari keterangan Burak, tour leader kami, Kota Ephesus sarat dengan sejarah yang sangat panjang. Katanya, hingga saat ini pun para peneliti dari seluruh dunia, belum dapat menemukan seluruh hasil kebudayaan dari peradaban kota tersebut. Masih ada ribuan benda-benda peninggalan Kota Ephesus yang tertimbun di bawah reruntuhannya. Menurut sejarahnya, Ephesus sudah dihuni oleh manusia sekitar 6000 SM.

Di antara reruntuhan, Burak kembali mengejutkan saya dengan mengisahkan asal-susul merek ternama Hermes. Bisa disimak dari video yang saya sematkan pada catatan ini. Selain itu, Burak juga bercerita secara singkat tentang asal usul merek Nike. Wuaaah! Ternyata reruntuhan Kota Ephesus ini menyimpan keunikan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya.




Setelah itu, saya dan teman-teman juga diajak melihat sisa reruntuhan yang lumayan masih terlihat utuh, yaitu Perpustakaan Celsus. Konon perpustakaan tersebut dibangun untuk menyimpan 12.000 gulungan kertas. Di lokasi ini juga terdapat sisa reruntuhan Grand Theater Ephesus. Begitulah, sejarah panjang yang bergulir dari abad ke abad tentang Kota Ephesus, menyisakan berbagai kisah dan mitos tentang kota ini.

Reruntuhan Perpustakaan Celsus)


Grand Theater Ephesus

Bagi umat Kristiani, Ephesus menjadi bagian sejarah penting karena kota ini disebut sebagai salah satu lokasi tujuh gereja penting di Asia Kecil. Konon, di Ephesus juga dipercaya sebagai lokasi kejadian kisah tujuh pemuda yang tertidur selama ratusan tahun dalam gua (Seven Sleepers menurut umat Kristiani). Sementara dalam Islam diyakini sebagai Ashabul Kahfi. Wallahua’alam bishowab.



Puas dan kegerahan menjadi satu membentuk rasa lapar. Dari Ephesus kami pun menyempatkan untuk menikmati makan siang di salah satu restoran yang tidak jauh dari destinasi berikutnya. Sayangnya saya selalu lupa memoto detail restoran tempat kami menikmati hidangan masakan Turki ini. Lapar bisa membuat ingatan menurun mendadak. Ternyata kesigapan dan naluri rekam data saya mulai menurun. Pimred macam apa saya? Ups! ☺

 

Show off  di Amphiteater, Kota Kuno Hierapolis.

Cuaca dan udara mulai bersahabat. Setelah makan siang, kunjungan kami berikutnya adalah Kota Kuno Hierapolis. Tempat ini merupakan reruntuhan kota kuno lainnya yang menjadi ikon Turki. Berlokasi di wilayah Denizli, Pamukkale. Hierapolis juga menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1988.



Gerbang masuk

Di dalam mobil menuju lokasi

Tiba di pintu masuk kawasan destinasi. Karena lokasinya masih lumayan jauh, kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki mobil seukuran Elf.  Rombongan kami yang terdiri dari 21 ibu-ibu cantik plus 2 tour leader yang sigap dan helpfull ... ehem ... terpaksa dibagi dalam 2 mobil. 


Sisa-sisa peradaban



Tempat pertama yang akan kami kunjungi di Hierapolis adalah Amphiteater, merupakan satu-satunya sisa bangunan yang masih menyisakan kemegahannya. Sementara kelengkapan kota di Hierapolis lainnya di sepanjang sisi kiri kanan jalan yang kami lewati - yang dulunya berupa colosseum, pemukiman, pasar, tempat pemandian umum, kuil-kuil dan pemakaman - hanya tinggal reruntuhannya saja. Sambil memandangi sisa-sisa peradaban di sepanjang jalan, akhirnya kami tiba di lokasi yang dituju. 


Amphiteater Hierapolis

Amphiteater di Hierapolis ukurannya lebih luas dari Grand Theater di Ephesus. Amphiteater di Hierapolis ini mampu menampung 15.000 orang. Letaknya yang sangat strategis di atas perbukitan, membuat para pengunjung bisa melihat ke penjuru sisa reruntuhan kota kuno tersebut. Di kepala saya mendadak membayangkan seperti apa tempat ini pada zamannya dulu. Pastilah sangat megah. Apalagi jika saat ada perhelatan. Terbayang orang-orang yang duduk di sepanjang tempat duduk seluas itu. Wow! Pasti keren sekali. Ah! Buru-buru saya fokus kembali. Ada sesuatu yang harus saya lakukan di tempat ini.

Saya dan tas kanvas berlukiskan cover buku "Teka-Teki di Museum Louvre"

Setelah sempat berkhayal ke masa lalu yang saya tak pernah ada di sana, saya seperti mendadak ingin show off. Hahaha .... Ada sesuatu yang ingin saya pamerkan untuk difoto di lokasi itu. Tas berbahan kanvas dan berlukiskan cover buku terbaru karya saya menjadi pemicu keinginan untuk pamer. Hahaha …. Naluri!😅Lukisan itu karya sahabat saya yang juga penulis cerita. Klik! Klik! Beberapa kali foto saya dan tas itu pun tersimpan di memori hape.


Bestie-bestie ... pretty!😂

Menuju Travertines Pamukkale dan Antique Pool

Setelah puas berfoto di Amphiteater, kami bergerak menuju Travertines Pamukkale, objek wisata air panas yang sangat terkenal di Turki. Pamukkale dalam bahasa Inggrisnya disebut Cotton Castle yang berarti "Istana Kapas". Situs alam yang berlokasi di Denizli, Turki ini, merupakan salah satu keajaiban alam yang masuk ke dalam UNESCO World Heritage Site. Sementara Travertines yang merupakan kawasan sumber air panas Cotton Castle berada dalam satu kawasan dengan situs kota kuno Hierapolis. Travertines sendiri merupakan batuan kapur atau gunung kapur yang terbentuk dari deposit kalsium karbonat.  Keajaiban alam seperti kolam bertingkat dengan air panasnya ini menyuguhkan keindahan tersendiri. Dan isunya air itu bisa menyembuhkan penyakit kulit. Itu sebabnya, tempat ini selalu dipadati oleh pengunjung.




Wuaaah! Ramai sekali turis dan mungkin juga masyarakat setempat menikmati air hangat beraroma belerang di tempat itu. Kami cukup menikmati dari pinggiran lokasinya saja. Sambil berfoto ria dan mencicipi jajanan yang dijual di kawasan itu.


Dari kawasan sumber air panas, kami berjalan menuju kolam air hangat yang konon katanya dulu dijadikan tempat mandi Ratu Cleopatra (Cleopatra’s Pool). Sekarang tempat itu diberi nama Antique Pool. Hingga saat ini, para pengunjung boleh berenang di kolam ini dengan membayar 30 Lira.



Melihat hijaunya warna air kolam yang tidak terlalu luas itu, sedikit menggelitik untuk menceburkan badan. Apalagi sejak pagi kami sudah “dimanja” oleh sengatan matahari yang lumayan bikin punggung basah. Ssst! Konon mitosnya, yang berendam di kolam ini akan awet muda. Wanna try? 




Inilah akhir dari eksplorasi kami di hari ketiga. Dari dua kota yang sarat sejarah itu, kami kembali menuju penginapan berikutnya, yaitu Hotel Tripolis, Pamukkale. Kelelahan yang lumayan menguras energi membuat suasana di dalam bis sedikit tenang. Hingga akhirnya bis yang membawa kami tiba di depan lobi hotel. Makan malam dan istirahat menjadi penutup hari yang indah.

Sampai bertemu di catatan hari berikutnya ya, Sob! Bye! [Wylvera W.]

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...