Rabu, 17 April 2019

New Zealand, Here We Come!




      Beberapa tahun lalu, saya sempat terobsesi ingin mengunjungi sebuah negara yang dijuluki sebagai “Negeri Kiwi”. Yup! Negeri itu adalah New Zealand. Saking inginnya saya ke sana, saya begitu bersemangat mengikuti kompetisi dari salah satu produk susu bersama beberapa teman. Sayangnya, kami belum beruntung menjadi pemenang untuk mendapatkan tiket gratis ke negara itu. Saya simpan lagi obsesi saya. Keinginan itu pun kembali teralihkan oleh destinasi lain.
Hingga akhirnya awal Februari 2019 lalu, saya tiba-tiba mencetuskannya kembali saat suami berencana mengajak saya ke luar negeri. Meskipun ada satu negara lagi yang menjadi pilihan selain Selandia Baru, yaitu Swiss. Namun karena saya sudah 3 kali ke Swiss dan suami malah sudah 5 kali, maka New Zealand pun menjadi pilihan kuat.  Akhirnya New Zealand menjadi alternatif untuk menghabiskan cuti besar suami saya.
Saya pun kembali melakukan browsing tentang negara kepulauan yang berada di sebelah Selatan Samudera Pasifik itu. Saya pikir travelling kami kali ini sama dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Naik pesawat ke negara tujuan lalu naik kereta atau tram dan bis untuk mengeksplorasi kota-kotanya.
            “Aku pengin mengulang perjalanan kita dengan driving seperti di Amerika dulu,” ujar suami membuat saya sedikit terperanjat.
            “Betul! Ini serius. Kita urus SIM Internasional,” lanjutnya tanpa menunggu reaksi saya.
        Kami pun mulai mengurus semua persyaratan yang dibutuhkan. Dari menyusun itinerary (rencana perjalanan) untuk pengurusan visa dan pemesanan tiket pesawat, hingga pembuatan SIM Internasional. Waktu yang diperlukan untuk semua itu sekitar satu setengah bulan. Sangat cukup untuk mempersiapkan semuanya.
            Untuk pengurusan visa, kami dibantu oleh rekan yang biasa mengurus visa dinas di kantor suami. Sementara untuk SIM Internasional, saya memakai jasa petugas yang selama ini membantu mengurus perpanjangan STNK mobil dan SIM kami. Alhamdulillah, tidak terlalu lama, visa kami pun akhirnya keluar dengan masa berakhir yang lumayan lama. Menyusul SIM Internasional yang hanya memerlukan dua hari kerja.
            Rencana perjalanan sudah disusun dan disiapkan. Suami saya pun menyelesaikan pembelian tiket pesawat dan penyewaan mobil untuk perjalanan kami selama di New Zealand. Kami bersyukur karena mendapatkan harga promo untuk pesawat Garuda dan Qantas yang akan membawa kami ke negara beribukota Wellington itu.

Saya dan suami (foto pribadi)
            New Zealand merupakan negara tetangga Australia yang letaknya sama-sama di kawasan Oceania. Berstatus sebagai negara persemakmuran Inggris dengan mayoritas penduduk keturunan imigran Eropa dengan penduduk aslinya adalah suku Maori. Saya ingin membuktikan apa yang menjadi keunikan negara tersebut. Terutama yang paling tenar bahwa New Zealand merupakan negara kaya yang terkenal dengan keramahtamahan masyarakatnya. Mari kita buktikan di cerita-cerita saya berikutnya tentang negeri ini.

Spot jantung sebelum mendarat.
            Kami memilih mendarat di Bandar Udara Internasional Wellington. Berangkat dari Bandara Soekarno Hatta pada tanggal 25 Maret 2019 dengan pesawat Garuda. Transit di Melbourne untuk menyambung rute dengan pesawat Qantas menuju Wellington.
            Tidak pernah terbayangkan akan ada momen menegangkan di perjalanan awal kami ini. Durasi terbang yang menghabiskan waktu sekitar 3 jam (dengan perbedaan waktu) itu menjadi waktu yang cukup panjang dan menegangkan di akhirnya. Awal yang indah mendadak berubah jadi mengkhawatirkan.
Ketika diumumkan bahwa pesawat akan mendarat dalam waktu 20 menit di bandara Wellington, saya lega. Hingga tersisa sekitar delapan menit, ketegangan itu pun dimulai. Awan dan angin kencang di atas permukaan laut, membuat pesawat yang kami tumpangi tertahan untuk mendarat. Saya melihat dari jendela pesawat. Sulit menembus jarak pandang akibat awan tebal yang menyelimuti langit.
Bolak-balik guncangan yang sangat kuat begitu terasa dan membuat jantung saya berdetak lebih kencang. Saya lirik wajah penumpang di sebelah bangku kami. Belum terlihat tegang seperti saya. Atau mereka pintar menyembunyikannya ya? Sementara saya sibuk melafazkan doa dan zikir. Suami yang menyadari kalau istrinya mulai cemas, sibuk menenangkan dengan menggenggam jemari saya.
“Berdoa saja dan jangan pikirkan yang negatif,” bisiknya lumayan menenangkan.
Di enam menit terakhir, pesawat kami kembali naik dan mencoba untuk turun lagi. Gagal! Hingga akhirnya keluarlah pengumuman kalau pilot akhirnya memutuskan mengalihkan pendaratan di Bandara Internasional Auckland. Wajah suami saya langsung tegang. Saya mengira dia mendadak takut akibat pengalihan tempat mendarat itu. Ternyata bukan itu penyebabnya. Beliau cemas membayangkan jadwal penyewaan mobil dan rencana perjalanan awal kami di Wellington. Tentu saja semua ikut berubah dan sedikit berantakan. Apa boleh buat. Kita berencana, Allah lah Maha Penentunya. Pada akhirnya kami pasrah dan mengikuti saja kondisi yang ada.

Makan siang penuh keramahan
Akhirnya kami tiba di bandara Auckland. Kelelahan mulai terasa. Transit yang cukup lama (sekitar tiga jam) membuat perut dan mata seperti bedebat minta dimanjakan. Kami memilih makan siang dengan menahan kantuk yang luar biasa. Mata saya sesekali mengawasi para penumpang yang satu pesawat dengan kami. Kasihan melihat anak-anak yang ikut di penerbangan tersebut. Kerewelan khas anak-anak tidak bisa dihindari. Ada yang menangis, ada yang merengek-rengek menunjukkan rasa lelah dan bosan mereka. Saya yang juga lelah jadi terlupa untuk mengambil foto saat di bandara ini. 
Di tengah situasi yang tidak nyaman itu, ada satu hal yang mulai menyentuh hati saya. Setiap kali duduk berdekatan dengan mereka yang mengaku tinggal di Selandia Baru, selalu saja ada kehangatan dan keramahan di awal. Sapaan “Hi” berkali-kali saya terima sebagai sinyal bersahabat. Terlebih saat saya dan suami menikmati makan siang di area foodcourt bandara, saya duduk di sebelah meja dua perempuan separuh baya.
Ough! Sorry Madam. My old hand wanna say hello with your skirt. Hahaha,” ujarnya mengekspresikan rasa sungkan karena tangannya tidak sengaja menjepit pinggiran rok saya.
Keramahan itu tentu saya respon dengan sikap yang tak kalah ramah. Ia bertanya dari mana kami berasal. Ia mengira kami dari Malaysia. Begitu saya sebut Indonesia, mata tuanya berbinar, lalu berkata, “Wow! Indonesia…!” Lalu ia bilang kalau sudah pernah berkunjung ke Indonesia. Meskipun ia hanya menyebut Bali, saya tetap menghargai penilaiannya terhadap negara saya. Minimal, kata indah untuk Indonesia lumayan terwakili oleh Pulau Dewata itu.
Saya sengaja tidak meneruskan untuk mengenalkan keindahan alam dari gugusan pulau-pulau yang terhampar di bumi pertiwi tanah negeri saya. Sebab, rasa nyeri di sudut perut saya mulai tidak bisa diajak kompromi. Begitu suami saya selesai memesan dan membawa makanan, saya beri sinyal meminta izin kepada wanita yang wajahnya diwarnai oleh “full smile” itu. Saya biarkan ia menggangguk-angguk dalam senyumnya. Kami kembali menikmati pesanan makan siang kami masing-masing.

Ketegangan belum usai
         Tibalah waktu untuk penerbangan menuju bandara Wellington. Wajah-wajah penumpang yang tadinya lelah, terlihat sedikit lebih segar. Tidak dengan saya dan suami. Justru kami mulai diserang rasa kantuk yang luar biasa. Kami memilih menonton film. Siapa tahu, kantuknya hilang. Namun ternyata justru kami berdua tidak sadar kalau film sudah bergerak ke durasi yang hampir menyelesaikan alur cerita. Hahaha ….
            “Semoga pendaratan kali ini aman ya,” gumam saya tiba-tiba saat terbangun.
            “Berdoa saja,” ujar suami lagi-lagi menenangkan.


      Hingga sampai pada menit-menit menuju pendaratan, ketegangan kembali menyerang. Saya tidak paham mengapa area permukaan laut menuju landasan bandara Wellington itu dua kali diterpa angin kencang yang membuat pesawat kami kesulitan mendarat. 
     Saya kembali melirik penumpang di sebelah kami. Sangat berbeda. Wajah mereka berubah ikut tegang. Tidak ada lagi obrolan dengan istrinya yang duduk persis di tepi jendela pesawat. Tangannya membuat gerakan seperti yang dilakukan umat Nasrani. Saya tahu bahwa mereka sedang meminta kekuatan agar bisa lebih tenang merasakan guncangan pesawat.
            Kali ini, suami saya juga ikut tegang. Itu terbukti dari kencangnya genggaman yang ia lakukan pada jemari saya. Tidak ada percakapan setelah itu. Kami sama-sama memohon kepada Allah untuk memberi keselamatan. Doa saya mungkin lebih spesifik, sebab tidak ada ilmu dan ketangguhan yang mampu melebihi ilmu Allah, termasuk ilmu pilot pesawat itu. Itulah yang saya panjatkan. Agar pesawat yang kami tumpangi dan sudah berputar sekian menit lamanya di atas permukaan laut melawan kuatnya terpaan angin, diberi kemudahan oleh Allah untuk segera mendarat.
            “Yaaay …! Yeee …!” seruan dari ekspresi rasa lega anak-anak dan para penumpang akhirnya memenuhi pesawat ketika rodanya berhasil menyentuh permukaan landasan bandara.
            “Allahu Akbar! Alhamdulillah …,” bisik saya dan suami bersamaan.
            Sungguh! Awal perjalanan yang diwarnai alur pembukaan, isi dengan klimaks serta ending anti klimaks yang bikin saya seperti menorehkan kisah drama. Padahal ini fakta dari catatan travelling kami menuju New Zealand, negeri yang baru pertama kali kami singgahi. Kisah di akhir yang menegangkan itu pun akhirnya mengantarkan kami menginjakkan kaki di bandara Wellington, New Zealand.
          Cerita selanjutnya, tunggu di judul berikutnya ya. Jangan bete dan sabarlah menunggu. Setelah ini, in shaa Allah, foto akan lebih banyak. Hehehe … see you!
           
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...