Jumat, 25 Desember 2015

Menikmati Sensasi Empat Hari di Bali

#Part 4
            Masih di hari ketiga (18 November 2015). Setelah puas menikmati objek wisata di kawasan Tanjung Benoa, rombongan kami (ibu-ibu pengurus Persatuan Istri Pegawai BI Pusat) memutuskan untuk menikmati makan siang. Setelah itu kami langsung menuju destinasi berikutnya. Sstt ... katanya butuh energi banyak untuk mencapai lokasi wisata tersebut. Di mana sih? Sabaaar ....
          Sehabis makan siang pasti disusul oleh rasa kantuk. Agar mata tetap melek, kami meminta kenek bus untuk memutar lagu-lagu karaoke. Betul saja! Tanpa menunggu waktu lama, ibu-ibu langsung “on” menikmati alunan lagu. Yang bisa berkaraoke pun tak mau menyia-nyiakan mic yang menganggur. Yihaaa! Rame deh di bus.

Tertipu oleh anak tangga pantai Padang-Padang
            Perjalanan dilanjutkan menuju pantai Padang-Padang yang juga dikenal dengan nama pantai Labuan Sait. Pantai ini sering dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara. Lokasinya terletak di Jalan Labuan Sait, Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung Bali.
            Kabarnya, lokasi pantai ini menjadi unik karena berlatar belakang perbukitan yang rindang dan batu karang terjal. Yang paling membuat saya penasaran bahwa pantai Padang-Padang tersebut merupakan salah satu lokasi syuting film Eat Pray Love, yang dibintangi oleh Julia Robets. Apanya sih yang membuat kru film Hollywood sampai bela-belain pantai itu menjadi lokasi setting film mereka? Penasaran saya jadinya.
            Tidak perlu menunggu lama, akhirnya kami pun tiba di area parkir menuju pantai Padang-Padang. Melihat cuaca yang lumayan terik, awalnya ibu-ibu pada ragu untuk turun dari bus. Tidak dengan saya. Justru saya ingin melihat, seperti apa tantangan menuju pantai itu. *sombongnya kumat*
Airnya yang bersih begitu menggoda untuk disentuh. Halaaah ....

Begitu melihat beberapa anak tangga yang mengarah turun menuju pantai, saya tidak merasakan tantangan apa pun. Ibu-ibu yang lainnya pun menyusul menuruni anak tangga itu. Hingga tiba di jalan menurun mirip goa, seukuran lebar satu badan orang dewasa dengan anak tangga yang kecil-kecil, saya mulai berpikir. “Turunnya saja sudah heboh begini, gimana nanti naiknya ya?” Sudah kepalang tanggung, kami tetap meneruskan menuruni jalan setapak itu.

Para model bergaya ... hahaha
            Wow! Para turis dari luar negeri memadati kawasan pantai itu. Saya dan ibu-ibu lainnya menyempatkan untuk mengambil momen berfoto. Kawasan pantai dengan pasir putih dan ombak yang tenang, memang menjadi daya tarik tersendiri dari pantai ini. Hmm ... namun buat saya pribadi, dalam hati saya berjanji tidak akan membawa anak-anak ke tempat ini. Mungkin buat orang dewasa tidak masalah. Eh, tapi terserah saja ya buat yang lainnya. Ini kan menurut saya pribadi saja. *kacamata kuda mana kacamata kuda?* ^_^


Walau lelah, kami harus naik dan kembali ke bus 
            Kami tidak berlama-lama di pantai itu dan bersiap-siap menuju bus. Tantangan pun dimulai! Semua pada ngos-ngosan menaiki tangga. Tidak terkecuali saya. Body sudah sempura bermandikan keringat. Luar biasaaa! Betul! Butuh energi ekstra menaiki anak tangga yang jumlahnya tidak sedikit itu. Pfiuuuh ...!

Menuju pantai Pandawa
            Setelah bermandikan keringat di pantai Padang-Padang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Pandawa. Letak pantai itu ada di kawasan bukit yang diberi nama Secret Beach (pantai tersembunyi). Pantai Pandawa terletak di Desa Kutuh, Kabupaten Badung, Bali. Letaknya yang persis di belakang perbukitan menyebabkan pantai ini diberi nama “Pantai Tersembunyi”. Pasir putih dan ombaknya yang tenang menjadi pemikat pantai ini.      

Hanya ini bisa saya rekam di kamera hape. Hikks .... *efek karaokean*
            Saat bus melaju menuju pantai, kami melewati tebing kapur di sisi kiri dan kanan jalan. Beberapa patung, yang kata tour guide kami jumlahnya ada lima, terlihat di celuk-celuk tebing kapur menuju lokasi pantai. Sementara saya lupa untuk mengabadikannya dalam kamera. Aaargh!

Penampakan Pantai Pandawa
Yang di belakang ikut ngeksis :p
             Di kisah Mahabhrata, kehidupan Sang Panca Pandawa pernah dikurung dalam goa Gala-Gala. Akhirnya keluarga Pandawa membuat terowongan untuk jalur keluarga Pandawa menyelamatkan diri. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Panca Pandawa (Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) membuka sebuah kawasan hutan belantara sebagai daerah kekuasaan mereka.
Diberi nama Pantai Pandawa karena ada kemiripan cerita yang ditulis dalam epos Mahabharata dengan fakta perjalanan hidup masyarakat desa Kutuh. Sehingga awalnya masyarakat memberi nama pantai tersebut sebagai Pantai Melasti (Secret Beach). Kisahnya pun tetap dikenang oleh masyarakat Bali hingga sekarang. Dan akhirnya, pemerintah Bali menetapkan namanya menjadi Pantai Pandawa yang sebelumnya bernama Pantai Melasti (secret beach) pada tanggal 27 Desember 2012.

Gak sah kalau gak foto-fotoan :p


              Begitu tiba, kami pun bergegas turun dari bus. Lagi-lagi cuaca terik matahari menyengat di kulit. Namun, kebersamaan seolah tidak mampu mengalahkan sengatan panas itu. Kami tetap enjoy berfoto-foto dengan bermacam gaya ala model tahun ‘70an.

Tidak bisa pakai kacamata di Uluwatu
            Tujuan akhir kami di hari ketiga adalah Pura Uluwatu. Kami ingin melihat sunset di sana sambil menikmati pertunjukan tari Kecak.
            Pura yang terletak di atas anjungan batu karang yang terjal dan tinggi serta menjorok ke laut ini merupakan Pura Sad Kahyangan yang dipercaya oleh orang Hindu sebagai penyangga dari 9  mata angin. Pura ini pada mulanya digunakan menjadi tempat memuja seorang pendeta suci dari abad ke-11 bernama Empu Kuturan. Ia menurunkan ajaran Desa Adat dengan segala aturannya. Pura ini juga dipakai untuk memuja pendeta suci berikutnya, yaitu Dang Hyang Nirartha, yang datang ke Bali pada akhir tahun 1550 dan mengakhiri perjalanan sucinya dengan apa yang dinamakan Moksah atau Ngeluhur di tempat ini. Kata inilah yang menjadi asal nama Pura Luhur Uluwatu. - Wikipedia -
            Kami pun tiba di Uluwatu. Tour guide membagikan selendang kuning kepada kami untuk diikatkan di pinggang. Begitu memasuki lokasi, saya melihat pura yang berdiri kokoh di atas ujung tebing yang curam. Letaknya menonjol ke lautan dengan pemandangan laut lepas. Sungguh memesona.

Puranya ada di atas sana
            Sebelum masuk, kami sudah diingatkan untuk melepas asesoris seperti, bros, kacamata, dan barang bawaan lainhya, seperti kamera. Di kawasan Pura Uluwatu yang dikelilingi oleh hutan kecil, dihuni oleh ratusan kera. Tidak jarang pengunjung harus legowo kehilangan barang-barang tadi, jika bertahan memakai atau membawanya dengan tidak berhati-hati. Seperti salah seorang teman saya yang mau tidak mau harus merelakan kacamatanya ditarik dan diambil oleh kera.

Menikmati pertunjukan "Tari Kecak" dalam kisah Rama dan Shinta



            Selanjutnya kami pun berjalan beriringan menuju lokasi pertunjukan tari Kecak. Hari semakin sore saat pertunjukan dimulai. Sambil menikmati tarian Kecak kami juga menunggu matahari perlahan terbenam. Suasana jadi begitu romantis dengan latar belakang sunset yang indah.

Menanti detik-detik sunset
Bersama Hanoman ^_^
            Berakhirlah kunjungan kami di hari ketiga di Bali. Selanjutnya makan malam bersama melengkapi kebersamaan kami di hari itu. Esoknya, kami tidak punya jadwal kunjungan lagi selain membeli oleh-oleh sebelum menuju bandara. Maka, sampai di sini saja cerita saya. Sampai jumpa di cerita wisata berikutnya.  [Wylvera W.]


Jumat, 18 Desember 2015

Menikmati Sensasi Empat Hari di Bali


#Part 3
Pantai Tanjung Benoa (dokpri)

            Sebelumnya saya mohon maaf, karena terlalu lama melanjutkan catatan ini. Semoga saya dimaafkan ya ... ya ... ya. *drama itu asyik juga ternyata ^_^ *
              Baiklah, mari kita lanjutkan.
            Esoknya di hari ketiga (18 November 2016), kami akan diajak untuk mengunjungi kawasan Tanjung Benoa. Selain terdapat penangkaran penyu di sana, Tanjung Benoa adalah sebuah kelurahan yang letaknya di sebelah Tenggara pulau Bali yang sangat terkenal dengan aktivitas rekreasi air dan wisata baharinya. Tanjung Benoa Watersport namanya.
Saya belum pernah berkunjung ke sana. Makanya saya tidak sabar ingin segera sampai. Namun, seperti biasa, pagi kami selalu diawali dengan sarapan bersama di kafe hotel. Setelah itu kami pun kembali berkumpul di halaman parkir untuk bersiap menaiki bis.

Menuju penangkaran penyu di Deluang Sari
            Perjalanan menuju pantai Tanjung Benoa, tempat perahu bermesin yang akan membawa kami ke Deluang Sari, sangatlah singkat. Tidak sampai setengah jam, kami sudah tiba di sana. Saya membayangkan pantai dengan gemuruh ombak yang memecahnya. Namun, begitu sampai, bayangan saya lenyap. Tidak ada air yang bergulung-gulung di tepi yang katanya pantai itu. Hanya pasir yang lebih tepatnya seperti tanah becek yang kekeringan.
            “Kita menunggu di sini ya sampai air lautnya pasang. Kalau tidak, boatnya tidak bisa bergerak,” ujar salah satu teman di rombongan kami.
            Ternyata penampakan pantai yang kering itu akibat air lautnya surut. Kami pun harus menunggu sekitar satu jam. Setelah itu, perlahan-lahan air laut naik ... naik ... naik, lalu berhenti sebelum menyentuh bibir pantai. Tiga perahu bermesin yang sudah disewa untuk menyeberangkan kami ke lokasi penangkaran penyu pun siap menunggu. 

Kami terpaksa harus berjalan menembus air setinggi mata kaki hingga lutut itu
            Tidak ada jalan lain, kami harus siap berbasah-basah. Perahu-perahu bermesin itu tidak bisa menepi lebih dekat ke arah kami, sebab dasar perahu sudah nyaris menyentuh tepian laut yang berair. Tingginya dari semata kaki hingga selutut orang dewasa. Semua pada sibuk menggulung celana. Saya memilih pasrah berbasah-basah. Seru saja rasanya. 

Seni memancing yang unik (dokpri)
            Perahu bermesin pun melaju menuju penangkaran penyu. Goyangan ombak sesekali memainkan perahu. Saya benar-benar menikmati perjalanan laut itu. Hingga tanpa sengaja mata saya tertambat pada sosok lelaki yang sedang mencari ikan. Tubuhnya dibiarkan terbenam setinggi pinggang. Barulah saya sadar kalau air laut yang kami sebrangi tidak semuanya dalam. Itu yang menyebabkan perahu bermesin yang kami naiki sesekali tersendat.

Perahu bermesin kami melaju meninggalkan ombak di belakang sana
            Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit, kami pun tiba di pantai berikutnya. Dari kejauhan tampaklah orang ramai berdiri di pintu masuk lokasi penangkaran penyu. Kami kembali berjalan di atas air laut. Kali ini, saya tak ingin menyia-nyiakan momen. Kami memuaskan mengabadikan keunikan cara menempuh lokasi itu. Sesi foto kembali menjadi momen heboh yang menyenangkan.

Walau berbasah-basah, sesi foto jangan terlewatkan ^_^ (dokpri)
Awalnya, kawasan Tanjung Benoa hanyalah perkampungan nelayan. Sejak tahun 1980, di Nusa Dua (kawasan yang terdekat dengan Tanjung Benoa) dibangun kawasan wisata Bali Tourism Development Corporation  (BTDC). Berdirilah hotel-hotel mewah yang hampir seluruhnya berbintang lima. Semakin hari kawasan itu semakin berkembang sehingga mengimbas ke kawasan Tanjung Benoa.

Selamat datang di Deluang Sari (dokpri)

            Akhirnya Pemda Bali menetapkan kawasan Tanjung Benoa menjadi pusat wisata bahari di Bali. Sejalan dengan perkembangannya, pemerintah juga membuat tempat penangkaran penyu hijau (termasuk satwa langka yang dilindungi) di Tanjung Benoa. Tempat penangkaran ini lebih dikenal dengan nama “Pulau Penyu”.  Lokasinya terletak di delta kecil bernama Deluang Sari. Kawasannya ditumbuhi hutan bakau dengan pantai berpasir putih yang menghadap ke Pelabuhan Benoa.


Bak tempat menangkar penyu-penyu itu
Di antara penyu ini ada yang berumur 70 tahun

            Di Deluang Sari terdapat beberapa kolam atau bak penampungan khusus untuk merawat penyu-penyu mulai dari yang baru menetas sampai penyu dewasa. Uniknya, umur penyu di Deluang Sari ini ada yang mencapai 70 tahun. Hebat ya?

Menahan sakit kena tamparan penyu
            Urusan tiket masuk sudah diatur oleh tour guide kami. Tinggal masuk, tapi tetap mengantri. Kami pun langsung disuguhi oleh ramainya pengunjung yang sibuk berpose bersama penyu. Awalnya saya geli dan ragu-ragu ingin berfoto. Tapi, sayang rasanya kalau sudah sampai di situ, tidak ada bukti otentiknya. *jiaaahahaha ... mulai lebay lagi kan *

Selepas ini, senyum di wajah itu sirna seketika:p
            Setelah memerhatikan beberapa orang yang berfoto sambil memegang penyu, saya pun jadi kepengin. Tour guide kami membantu mengambilkan penyu dan mennyerahkannya ke tangan saya. Kaki yang saya sebut seperti sayap tapi keras milik penyu di tangan saya, terus saja mengepak-ngepak. Sementara kamera hape sudah siap menangkap momen kebersamaan saya dengan penyu itu.
            Plak!
          Kepakannya menampar ujung jari jempol saya. Rasa perih tiba-tiba menyengat. Wajah saya yang tersenyum saat difoto berubah nyengir menahan rasa sakit akibat tamparan penyu itu. Untung saja saat tombol perekam gambar di kamera hape ditekan oleh teman saya, wajah saya masih dalam pose tersenyum. Alhamdulillah ... pencintraan itu tidak bocor.  *bwuahahaha ...*

Burung pun pengin pakai kacamata
            Udara panas begitu menyengat, bukan hanya di kulit tapi sampai ke tenggorokan. Saya tidak tahan untuk tidak menikmati air kelapa muda sebenarnya. Namun, masih ada momen yang sayang untuk dilewatkan, yaitu berpose dengan burung (maaf, lupa nama burungnya). 

Eiiits ...! Jangan diambil dong, kacamatanya ^_^
            Sambil menunggu giliran, mata saya sesekali melihat ke arah teman-teman yang sudah duduk menunggu pesanan kelapa muda. Akhirnya giliran saya pun tiba. Pawang burung (memang ada ya pawang burung ... entahlah), meletakkan kaki burung itu di lengan kiri saya. Aaah, mengapa hewan kedua di tempat penangkaran penyu ini pun bertingkah aneh? Saat gambar siap diambil, kepala burung sibuk ingin mematuk kacamata saya. Terpaksa posenya diulang lagi demi mendapatkan hasil yang bagus. *jiaaahaha ... ngarteees banget dah*
Akhirnya, kami pun berdamai ^_^
            Selesai sesi foto dengan burung, saya pun bergabung dengan ibu-ibu lainnya. Air kelapa muda dan sebotol air mineral rasanya harus segera membasahi kerongkongan saya yang nyaris kering-kerontang.

Ularnya menggeliat
            Selesai menikmati air kelapa muda, saya melihat segelintir pengunjung mendekati sebuah area. Wah! Ternyata di situ ada ular yang siap diajak berpose dengan para pengunjung. Saya tidak serta-merta berfoto dengan ular yang dipegang pawangnya itu. Awalnya ada rasa geli. Namun, ketika saya melihat mulut ular itu dibalut oleh perekat, logika saya pun jalan. Itu artinya ular tersebut tidak akan mampu menyemburkan lidahnya yang berbisa dan melukai hatiku  menyengat saya.

Ular juga bisa jadi model :p
            “Bantu ya, Bli. Naruhnya pelan-pelan,” ujar saya meminta pawang ular yang masih sangat muda itu melilitkan badan ular ke leher dan pundak saya.
Saat saya pegang bagian kepalanya, ular itu tiba-tiba menggeliat manja, membuat saya nyaris menahan napas. Tidak harus berlama-lama, yang penting ada fotonya. Saya pun buru-buru menyerahkan ular itu kembali ke pawangnya.

Serunya bermain parasailing
            Waktu untuk berfoto dengan bermacam hewan yang dilindungi di penangkaran penyu usai. Kami pun kembali ke tempat awal. Sepanjang perahu bermesin melaju, saya sempat melihat beberapa orang yang menaiki parasailing. Seru sekali. Teman saya bilang kalau dia ingin menaiki itu. 

Seruuu ...!
            Begitu tiba di bibir pantai tempat awal kami tiba, kami pun disuguhi kertas pendaftaran. Yang ingin menikmati sensasi parasailing, diminta mencantumkan namanya di kertas itu dengan membayar uang seratus ribu. Cukup murah, karena itu di bawah tarif umum.
           Seperti sebelumnya, saya tidak buru-buru menyatakan ikut. Saya ingin melihat dan beradaptasi terlebih dahulu. Uji nyali boleh, tapi ‘kan nggak harus gegabah. Setelah melihat beberapa yang naik dan terlihat nyaman di atas sana, barulah saya mantapkan hati mendaftar. Sstt ... bukan apa-apa, ini pengalaman pertama buat saya. Wajarlah kalau pakai ancang-ancang dulu. *ngeleeess ....*

Sesaat sebelum melambung tinggi ke atas permukaan laut
        Saya dan teman lainnya pun siap dengan atribut parasailing, menunggu giliran. Sambil menunggu, satu orang dari petugasnya memberikan arahan.
            “Nanti saat berlari dan naik, tangannya diletakkan di sini. Jangan sekali-sekali menarik atau menyentakkan tanda biru dan merah di tali yang ibu-ibu pegang nanti. Lihat aba-aba dari bendera berwarna merah dan biru yang dipegang teman saya itu,” ujarnya sambil menunjuk salah satu teman yang memegang kedua bendera yang disebutnya.
“Jika bendera merah dan biru disilangkan oleh teman saya, maka lepaskan pegangan pada kedua tali atau boleh tetap dipegang, asal tidak ditarik atau disentak-sentakkan. Saat menjelang turun, perhatikan bendera biru yang diangkat. Itu artinya, ibu-ibu harus menarik sekencang-kencangnya tali yang berwarna biru sampai tanda dilepaskan diberikan. Mengerti ya?” ujar anak muda itu menjelaskan.
Siap terbang tinggi
            Tibalah giliran saya. Jujur saja, agak berdebar juga jantung ini. Namun saya sudah memilih untuk diangkat tinggi-tinggi oleh parasut yang dihubungkan dengan tali yang dikendalikan oleh pengemudi speed boat di laut sana. Saya pun siap berparasailing, berlari, naik ... naik ... tinggi ... tinggi ... melihat hamparan laut bebas dari ketinggian. Masya Allah, indah sekali!

Semakin tinggi hingga tak tertangkap bidikan kamera lagi ^_^
            “Yuhuuu ...!” seru saya di atas sana tanpa didengar oleh siapa pun. Lepas rasanya. Saya benar-benar menikmati saat-saat melayang di atas hamparan laut yang terbentang di bawah saya. Hingga akhirnya saya menarik tali biru untuk perlahan-lahan mendarat kembali. Haaap ...! Saya berhasil mendarat dengan cantik selamat.

Alhamdulillah, mendarat dengan mulus
            Setelah itu, berakhirlah kebersamaan kami di Tanjung Benoa. Tujuan selanjutnya di hari yang sama akan saya ceritakan di bagian berikutnya. Tunggu ya! [Wylvera W.]


Selasa, 15 Desember 2015

Memasak Bisa Jadi Terapi Stress

Beberapa masakan hasil kreasi saya (dokpri)
            Sebagai seorang istri dan Ibu, keterampilan memasak sepertinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Konon katanya, dari sanalah cinta bisa dipupuk agar semakin subur dan mampu mengikat hati suami dan anak-anak. Saya percaya itu. Itulah sebabnya saya selalu berusaha (walau tidak bisa menguasai secara paripurna) untuk sedikit belajar tentang ragam masakan yang cocok dengan lidah suami dan anak-anak saya. Di samping itu, memasak juga bisa membantu mengalihkan pikiran kusut yang mampu memicu stress.
Meskipun saya tidak termasuk tipe perempuan yang punya hobi memasak, tapi setidaknya saya enggak malu-malu banget jika diajak turun ke dapur. Minimal saya masih bisa membedakan nama jenis bumbu dapur dan apa fungsinya dalam masakan. Lalu, turun ke dapur saya rasakan juga sebagai terapi melebur rasa stress. Jika pekerjaan yang berkaitan dengan menulis tiba-tiba memuncak dan membuat saya lelah, biasanya saya memilih selingan untuk mencegah stress. Selain menyelinginya dengan jalan-jalan dan membaca, biasanya saya memilih turun gunung ... eh ke dapur.
Pernahkah saya melampiaskan rasa stress ke dapur (baca: memasak) dengan cara yang sedikit ekstrim? Yap! Tentu pernah. Ternyata dengan cara seperti itu saya bisa menemukan beberapa manfaat. Amarah yang tidak jelas munculnya dan mau dialihkan ke mana, bisa saya alihkan saat meracik dan memotong-motong bumbu masakan misalnya. Tekanan pada alat pemotong mampu membuang rasa kesal. Pikiran kusut yang mulai menguasai perlahan-lahan akan menguap ketika konsentrasi beralih ke proses memasak berikutnya. *hahaha, wanna try?*
Selain itu, pujian suami dan anak-anak pada hasil masakan saya adalah obat stress paling manjur yang pernah saya rasakan. Pujian itu mampu menstimulasi energi baru untuk melanjutkan kembali pekerjaan menulis lainnya. Apalagi jika mereka menyantap habis masakan saya. Rasanya saya lupa kalau sebelumnya ada tekanan yang mengganggu. 
Ini jenis menu andalan saya yang lainnya (dokpri)
Satu hal lagi yang mampu menghilangkan kelelahan yang bisa memicu stress adalah ketika saya berhasil memposting foto-foto kreasi masakan saya di facebook serta mampu menuliskan proses kreatif saat mengerjakannya di blog. Wuiiih! Itu hiburan yang sungguh-sungguh mampu menjadi selingan di sela-sela tumpukan pekerjaan lainnya.
Konon lagi katanya, kesenangan pada memasak mampu meningkatkan kreativitas. Lagi-lagi saya percaya itu. Rasa senang itu akan memicu saya untuk mencoba lagi beberapa resep baru lalu diolah sedemikian rupa. Ini pernah saya coba. Waktu itu, saya tidak paham bagaimana mengolah masakan tauco udang seperti yang dilakukan oleh Mama saya. Rasa penasaran pada rasa yang selalu berbeda itu, membuat saya selalu berusaha bagaimana supaya bisa mencapai standar bikinan Mama. Akhirnya saya berhasil. Sampai sekarang, belum ada yang bilang tauco buatan saya anyep dan kurang sedap. Malah suami saya bilang “Kok jadi enakan tauco udang versimu ya.”  *senyum-senyum pengin lompat-lompat*
Nah, adakah yang mau mencoba upaya menghilangkan stress lewat memasak ini? Baidewei ... jangan bilang alergi ya. Jadi perempuan apalagi istri dan sudah menjadi Ibu itu setidaknya mampulah merebus air atau menanak nasi. *hahaha ... standar banget yach* [Wylvera W.]

Terpancing si Pancong

 Saya tak pernah tahu kalau warung kopi yang sering saya lintasi itu menjadi tempat menarik untuk disinggahi. Tampilannya yang sangat sederhana dan malah terkesan sempit sangat tak menarik perhatian saya. Namun, suatu hari saya sempat tersenyum membaca nama warung itu. Dan, senyum saya tak berhenti sampai di situ. Saya terpancing untuk menyinggahinya.
Warkop Pancong namanya. Letaknya di Jalan H. Agus Salim, Bekasi, dekat dengan pintu rel kereta api. Namanya yang unik membuat saya berhenti sejenak dan melongok ke dalam. Ternyata sudah banyak anak-anak muda yang duduk serta menikmati jajanan yang kembali memancing selera. Naluri untuk bertanya-tanya pun muncul saat itu.
“Kami buka 24 jam,” ujar salah satu cucu pendiri Warkop Pancong itu. Itulah yang membuat warung ini beda dari warung-warung kopi lainnya yang ada di Bekasi. Tujuh karyawan yang semuanya masih keturunan Pak Atta (nama panggilan untuk pendiri Warkop Pancong), selalu membuat warung itu banyak dikunjungi  pembeli. Ketujuh cucu Pak Atta itulah yang bergantian melayani pelanggan mereka. Kue pancong di warung kopi itu sangat memikat selera, sehingga pelanggannya tak pernah berhenti datang untuk menikmati cita rasanya.
“Pembelinya banyak, dari anak-anak SMP, SMA, mahasiswa, ibu-ibu, dan bapak-bapak,” tambah cucu Atta lagi menjelaskan. Saya kagum pada kegigihan pemilik usaha Warkop Pancong itu. Bayangkan saja, sejak berdiri dari tahun 1985, warung ini tetap bertahan dan semakin hari semakin banyak dikunjungi oleh penikmatnya. Satu hal lagi, dibuka selama 24 jam, itu yang membuat Warkop Pancong jadi istmewa.
“Saya suka makan kue pancong di sini. Enggak pernah bosan. Enak sih, murah lagi,” ujar Noni, salah satu remaja putri yang memesan sepiring kue pancong serta es teh manis di sebelah saya. Memang betul, harga kue pancong relatif murah. Satu porsi kue pancong yang polos dihargai 4000 rupiah. Kue pancong dengan rasa keju atau cokelat, 6000 rupiah. Sementara untuk pancong dua rasa, cokelat dan keju hanya 8000 rupiah.
Sambil berbincang, mata saya sesekali menyapu kondisi warung itu. Warkop Pancong itu tak pernah sepi dari pembeli. Padahal, di situ hanya disediakan dua bangku kayu panjang yang diletakkan di sepanjang meja tempat memasak kue pancong. Sangat sederhana tetapi begitu memikat.
Pantaslah, setelah saya ikut mencicipi rasanya, saya baru tahu keistimewaan dari kue pancong buatan cucu Pak Atta itu. Kue yang mirip dengan kue pukis dan kue rangi ini memiliki tekstur lebih lembut. Rasanya memang legit, gurih, dan enak seperti yang dikatakan Noni tadi. [Wylvera W.]

Menikmati Kuliner di Marriott Cafe, Medan

            Saat mudik Idul Fitri 1434 H kemarin tiba-tiba saya dikejutkan oleh sebuah undangan singkat di inbox facebook. Tidak sampai di situ saja, undangan senada juga berlanjut di hape, berisi ajakan ketemu sambil menikmati kuliner sebuah hotel berbintang di kota Medan. Awalnya saya ragu untuk memenuhinya, karena Mak Rina Shelomita (pengundang) meminta hadir di tanggal 9 Agustus 2013 (bertepatan dengan lebaran kedua) di undangan itu. Tapi, demi teman dan karena kami pun belum pernah bertatap muka sebelumnya rasa ingin saling mengenal itu jauh lebih mendorong hati saya untuk memenuhi undangannya.
Rina, Saya dan Haya
            Selama ini kami hanya saling kenal lewat sebuah komunitas bernama Kumpulan Emak2 Blogger karena kami memang anggota di sana. Bukan hanya saya yang diundang Mak Rina. Ada Mak Haya Aliya Zaki yang saat itu sedang mudik juga ke Medan. Begitulah, di hari yang sudah dijanjikan kami pun hadir di JW. Marriott Cafe untuk memenuhi undangan Mak Rina. Ternyata Mak Rina adalah Public Relation and Social Media Manager di hotel itu. Alamaaak! Saya tak membayangkan akan makan gratis awalnya. Kesempatan yang menguntungkan sekali.

Gerbang menuju JW. Marriott Cafe
            Kedatangan saya dan Mira (putri saya) disambut hangat oleh Mak Rina. Ternyata Mak Haya sudah hadir lebih dulu di sana. Saya sempat melihat Mak Haya yang sudah sibuk mengambil foto-foto hidangan kuliner di kafe itu. Kami diberi keleluasaan untuk mengambil gambar dan mencicipi semua jenis hidangan yang tersedia di sana. Saya jadi kepikiran untuk me-review taste dan tampilan menu yang tersaji di Marriot Cafe. Meskipin tak sedetail ahli kuliner, tapi paling tidak, ini bisa menjadi kenangan buat pertemuan kami.
Silakan pilih mau duduk di mana
Ulos yang tergantung menambah anggun dekorasi kafe

     Sebelum menikmati kulinernya, mata saya lebih dulu menyapu dekorasi kafe yang bergaya kontemporer. Suasana nyaman dan elegan langsung terasa ketika memasuki kafe itu. Tinggal memilih ingin duduk di mana, semua posisi terasa dekat dengan makanan. Ini memudahkan pengunjung untuk melirik sisi buffet mana yang lebih dulu ingin dicicipi.



            Tampilan penempatan buffet serta penataan dapur dengan gaya panggung terbuka, Marriot Cafe menyajikan hidangan kuliner yang lumayan lengkap. Makanan disajikan dalam tampilan senantiasa penuh untuk tamu-tamunya di sepanjang hari. Kami pun seolah dimanjakan dengan gaya prasmanan mewah dan berkelas. Mulai dari menu masakan khas India (Authentic Indian Cuisine), Eropa, Cina, sampai makanan khas daerah tersedia di kafe itu untuk disajikan dalam buffet makan siang maupun malam.

Ragam salad

Menu daerah

Ragam manisan Medan

Karena penasaran, menu pertama yang saya cicipi adalah masakan India yang bernama naan. Tampilannya mirip tortila, tapi tekstrurnya lebih kaku menurut saya. Dari keterangan Chef, naan ini terbuat dari tepung, garam, ragi dan baking powder. Cara memasaknya pun unik. Adonan dimasak di dalam tandoor (mirip kuali panas) lalu ditempelkan di dinding bagian dalam kuali (panasnya seolah berada dalam oven). Maka permukan naan akan menghasilkan gelembung yang bentuknya lebih besar dari tortila. Kalau cara menyantapnya hampir sama dengan roti canai yaitu bisa dengan kari.

Naan + kari dan chicken tandoor + raita
           Berikutnya saya mencoba chicken tandoor yang juga termasuk jenis kuliner dari India. Maklumlah, Medan memang banyak dihuni oleh komunitas India sehingga sajikan Marriot Cafe tak bisa lepas dari itu. Chicken tandoor rasanya lebih maknyus jika dicicipi dengan raita yang tampilannya terlihat seperti kuah salad (maaf, saya tidak sempat menanyakan kontennya), yang penting rasanya meninggalkan sensasi asem-asem gurih di lidah.
Sushi oh sushi
            Setelah itu, saya beralih ke masakan Jepang. Potongan sushi menjadi incaran saya selanjutnya. Untuk sushi ini, rasanya tak jauh berbeda dengan jenis sushi yang sering saya cicipi di restoran lainnya. Dari sushi saya melirik buffet yang berlabel “Noodle Station”. Saya membayangkan mi rebus khas Medan akan segera saya santap saat itu. Ketika saya meminta dibuatkan semangkuk mi rebus kepada Chefnya, kening saya sempat berkerut. Nama “Noodle Station” yang terpajang di situ ternyata jauh dari bayangan saya tentang sajian mi rebus Medan yang biasa saya santap saat-saat pulang ke kampung halaman.
Mi rebus ala Marriott Cafe dan es campurnya.
Setelah mengambil noodle, saya memadukannya dengan minuman es campur. Lagi-lagi saya ingin memberi masukan kalau es campur yang dimaksud adalah es campur dengan taste Medan, yang saya minum itu lumayan jauh dari aslinya. Akhirnya, setelah mencicipi noodle ala Marriot Cafe, kami (saya dan Haya) memberikan masukan kepada Mak Rina. Jika Marriot Cafe ingin menyajikan mi rebus atau es campur khas Medan mungkin perlu melihat resep aslinya. Semoga setelah ini, penampilan “Noodle Station”dan hidangan es campur di Marriott Cafe Medan benar-benar bisa memberi cita rasa mi rebus dan es campur khas kota Medan.
            Sebelum melanjutkan mencoba kuliner lainnya, saya istirahat sejenak demi mengendurkan rongga perut. Saya kembali melirik hidangan Eropa. Sebenarnya banyak pilihan di sana, termasuk pizza, tapi saya memilih beef steaknya saja dan potongan kecil daging ayam serta kentang panggang, karena takut perut saya keburu meledak akibat kekenyangan. Not bad! Puji saya dalam hati. Rasanya pas di lidah.
Beef steak, potongan daging ayam panggang dan kentang.
            Akhirnya, sebagai makanan pencuci mulut, saya cukup menikmati sajian potongan buah segar saja. Kalau saja permukaan perut saya terbuat dari karet rasanya saya ingin menikmati semua sajian yang serba lezat itu. 
 
            Bagi Anda yang sedang bertandang ke kota Medan atau yang menetap di sana, silakan berkunjung ke Marriott Cafe yang letaknya tentu saja berada di lingkungan Hotel JW. Marriott, Jalan Putri Hijau Medan. Jika ingin melakukan reservasi, silakan menghubungi nomor telepon (061) 4553333.
Untuk jam operasionalnya; Buffet Sarapan, Senin sampai Minggu dari pukul 06.00 sampai 10.30 pagi dengan harga 175 ribu per orang. Buffet Makan Siang, Senin sampai Sabtu, pukul 12.00 sampai 14.30. Sementara untuk Sunday Brunch, mulai pukul 12.00 sampai 15.00 dengan harga 288 ribu per orang. Jika Anda ingin datang untuk menikmati Buffet Makan Malamnya, silakan berkunjung setiap hari Senin sampai Minggu di pukul 18.00 hingga 22.00 WIB.
Sebagai informasi terbaru, sampai bulan September 2013 ini, Marriot Cafe menyajikan draw box giveaway. Jangan sampai ketinggalan, silakan reserve tempat bagi yang bermina. [Wylvera]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...