Senin, 30 November 2015

Menikmati Sensasi Empat Hari di Bali

#Part 1

            Pulau Bali bukanlah destinasi baru yang pernah saya kunjungi. Saya sudah tiga kali ke sana. Dua kali bersama keluarga dan sekali bersama teman. Ketika pengurus Persatuan Istri Pegawai Bank Indonesia (PIPEBI) Pusat memutuskan untuk mengadakan acara perpisahan (mengakhiri periode kepengurusan) ke sana, saya biasa saja. Tidak terasa akan menemukan sesuatu yang berbeda. Ternyata saya salah besar. Mengapa? Ikuti catatan saya selama empat hari di Bali ini. Yuuuk ....

Terbang dari bandara Soekarno Hatta
            Pagi itu, Senin, 16 November 2015, kami (26 orang) dijanjikan untuk berkumpul di terminal keberangkatan bandara Soekarno Hatta. Pesawat Garuda yang akan menerbangkan kami ke Denpasar Bali, berangkat pukul 07.50 WIB. Begitu tiba dan bergabung dengan ibu-ibu PIPEBI, saya langsung merasakan sensasi awal. Bagaimana tidak. Dress code bernuansa kuning yang disepakati langsung menarik perhatian. Belum lagi kehebohan saat tiba-tiba muncul ide untuk berfoto. Wuiiih ...! Bandara itu serasa milik kami. Tentu saja, banyak mata yang melirik. Cueeek ....

Seruuu ...!
            Singkat cerita, pesawat yang kami naiki pun siap terbang. Penerbangan yang menghabiskan durasi sekitar 1 1/2 jam, akhirnya mendarat di bandara Ngurah Rai. Kembali nuansa kuning meramaikan bandara dengan sesi foto. Seolah moto kami, “Tiada waktu jeda tanpa berfoto ria”. *dilarang protes ...hihi*

Hari Pertama di Bali
            Setelah urusan bagasi selesai, kami tidak diantar ke hotel. Bis wisata yang sudah menunggu, langsung membawa kami menuju Rumah Makan Ayam Betutu “Gilimanuk”. Tempatnya biasa saja, tapi pengunjungnya lumayan ramai.

Tempatnya biasa tapi pengunjungnya luar biasa (dokpri)
Ayam Betutu merupakan salah satu masakan khas Bali. Betutu adalah lauk yang terbuat dari ayam atau bebek utuh berisi bumbu. Memasaknya dengan cara memanggang. Ayam Betutu merupakan makanan khas Gilimanuk yang awalnya digunakan sebagai sajian pada upacara keagamaan dan upacara adat. Sejalan dengan perkembangannya makanan ini juga dijadikan hidangan utama yang dijual di rumah-rumah makan, hotel, dan tempat-tempat tertentu.

Maaf, terlalu jauh jarak motonya ya (dokpri)
Sementara, di RM. Ayam Betutu Gilimanuk yang kami singgahi, ayam yang disajikan adalah jenis ayam kampung. Ada dua jenis, yaitu berkuah yang rasanya lumayan pedas dan digoreng. Saya tidak tahan makanan pedas, jadi saya memilih yang digoreng. Hmm ... mantaps!

Pura Taman Ayun
            Setelah kenyang menyantap ayam betutu, perjalanan pun dilanjutkan menuju Pura Taman Ayun. Pura ini terletak di Desa Mengwi, Kabupaten Badung, sekitar 18 km ke arah Barat dari Denpasar. Sesuai dengan namanya “Pura di Taman yang Indah”, pura ini memang indah dan menyejukkan pandangan. Sesaat mampu mengalahkan udara panas yang semakin menyengat di kulit.

Papan nama ini berada di dekat pintu masuk taman (dokpri)
Kolam yang bersih yang mengitari taman (dokspri)
Selain tertata rapi dan bersih, taman di dalamnya terlihat sangat terpelihara dengan baik. Pura ini merupakan peninggalan Kerajaan Mengwi yang memiliki nilai sejarah. Pada tahun 2002, Pemda Bali mengusulkan kepada UNESCO agar pura ini dimasukkan dalam World Heritage List. Catatan lengkap tentang Pura Taman Ayun bisa dilihat di sini.


Cuaca panas di atas langit Eropa Bali, membuat kami galau memilih. Buru-buru kembali ke bis atau kembali berfoto ria. Tapi kapan lagi bisa ke sini. Sayang rasanya kalau tidak berpuas-puas mengabadikan objek yang hampir seluruhnya bagus di taman ini. Sambil berjuang menahan sengatan matahari, saya menyempatkan diri untuk membidik sisi-sisi taman.


Sebenarnya bukan hanya cuaca panas yang membuat kami tidak bisa berlama-lama di taman itu. Program full day tour yang sudah disepakati masih membutuhkan waktu. Ada tempat lain yang harus kami kunjungi sebelum matahari tenggelam di hari pertama kedatangan kami di Bali. 


Akhirnya, setelah puas mengabadikan beberapa objek di Pura Taman Ayun, kami pun bergegas menuju bis. Nyeeesss ... AC bis langsung menetralkan rasa panas yang menyengat. Perjalanan pun dilanjutkan menuju destinasi berikutnya.

Menuju Pura Tanah Lot
            Destinasi berikutnya adalah Pura Tanah Lot, sebuah pura yang dibangun di atas batu karang. Tempat yang sangat tepat untuk melihat sunset. Namun sebelum matahari turun, kami memuaskan diri untuk menikmati objek di Tanah Lot. 

Susahnya mencari lokasi yang sepi di sini. Alesyaaan .... ^_^ (dokpri)
            Saya sendiri sangat penasaran ingin melihat dan menyentuh ular. Ular itu diyakini oleh masyarakat Bali sebagai Ular Suci. Awalnya saya ragu karena hanya segelintir dari ibu-ibu PIPEBI yang mau melihatnya. Namun, rasa penasaran saya mengalahkan keraguan. Lagi pula, ada pawang ularnya di lokasi itu. Kalau ada apa-apa, si Pawang rasanya tidak mungkin membiarkan saya mati konyol. *don’t try this ya .... hihihi*

Ularnya kalem banget ^_^ (dokpri)
            Setelah berhasil menyentuh dan berfoto dengan Ular Suci, saya juga ingin merasakan kesegaran “Air Suci” yang mengalir dari sebuah lokasi semacam goa. Benar saja, airnya dingin dan menyegarkan ketika dibasuh ke wajah. Selepas itu, para penjaga “Air Suci” menempelkan beras dan menyelipkan kembang kamboja di balik jilbab saya. Tradisi Bali yang sangat menarik perhatian para turis, tak terkecuali saya.

Airnya dingin. Brrr....
Habis merasakan air suci dikasih kembang
            Selebihnya, saya kembali bergabung untuk sesi foto-foto seperti biasa. Kami sengaja menghabiskan waktu menunggu sunset. Namun sayang, cuaca tidak terlalu mendukung. Saya tidak berhasil mengabadikan sunset di Tanah Lot. Akhirnya kebersamaan di Tanah Lot kami akhiri dengan menyantap hidangan air kelapa muda yang langsung diminum dari kelapanya. Segaaar ....

Ditutup dengan makan malam
            Hari pertama di Bali berakhir di rumah makan. Sebelum check in di Kuta Beach Club Hotel (tempat kami menginap selama di Bali), tour guide kembali mengajak kami menikmati santap malam di RM. Tempo Doeloe. Karena badan sudah terasa sangat letih, saya tak sempat mengambil foto hidangan yang disajikan di rumah makan itu. Yang saya ingat, semua menunya sangat pas di lidah. Lezaaat .... 
             Sebelum melanjutkan cerita di hari kedua, sebenarnya ada cerita yang lumayan seru di malam pertama. Saat check in, hari sudah lumayan larut. Fisik kami pun sudah memaksa ingin diistirahatkan. Tapi ternyata harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Kamar yang seharusnya sudah di-setting sedemikian rapi dan sesuai dengan rencana panitia, ternyata berubah.
         Posisi kamar kami yang 26 orang terpisah jauh. Saya dan teman sekamar contohnya. Kamar kami berada di posisi paling belakang dari bangunan hotel. Kalau saja tidak terlalu lelah, saya mungkin orang pertama yang akan teriak, “Takuuut ...!” Begitu juga dengan beberapa teman lainnya. Intinya, kami menolak diberikan kamar yang posisi jalan menuju ke sananya remang-remang dan sepi. Setelah menunggu beberapa saat, dengan kesigapan tour guide kami yang sabar dan baik hati, kami pun akhirnya kembali mendapatkan posisi kamar yang aman dan saling berdekatan. [Wylvera W.]

-------------- Bersambung -------------
             

Senin, 23 November 2015

Perjalanan itu Berakhir di Atas Air

#Part 11

Pemandangan di tepi kanal (dokpri)
        Setelah puas menjelajah Zaanse Schans, Marken, Volendam, kami akhirnya kembali ke Amsterdam. Hari sudah beranjak sore. Untunglah tiket kapal cruise yang sudah kami beli masih bisa dipakai. Tiket yang kami beli adalah paket 100 Highliht Cruise dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Sebenarnya ada beragam paket yang ditawarkan. Bahkan bisa menikmati romantisnya kota Amsterdam di malam hari dengan paket dinner cruise, candle light cruise, dan cocktail cruise. Hanya saja kami tidak punya cukup waktu dan energi lagi untuk itu.

Hampir salah naik kapal
Saya dan suami tergesa-gesa mencari dermaga tempat kapal yang akan membawa kami menyusuri kanal Amsterdam. Sebenarnya ada empat kanal utama yang terdapat di Amsterdam. Keizersgracht, Prinsengracht, Herengracht, dan Singel. Di sana pulalah beberapa dermaga tempat ditambatkannya kapal-kapal cruise milik perusahaan tour dan travel. Karena terburu-buru, kami tidak sempat menanyakan, yang mana kapal yang boleh kami naiki.
Saking banyaknya dermaga yang menyajikan layanan berkeliling kanal di Amsterdam ini, saya dan suami sempat bingung. Awalnya kami sudah yakin kalau dermaga yang kami datangi adalah tempat start kapal cruise yang akan kami naiki. Namun, saya ragu karena tidak ada yang mengantri di situ. Akhirnya kami bertanya pada petugasnya. Benar saja, kami salah. Tiket yang kami pegang hanya bisa menaiki kapal cruise yang menepi di seberang kanal tempat kami berdiri.
            Demi mengejar waktu, saya dan suami akhirnya setengah berlari menuju dermaga yang ditunjuk oleh petugas tersebut. Lima menit saja kami terlambat, maka kesempatan kami akan berakhir. Tiket yang kami beli bisa hangus karena ternyata kapal yang kami naiki hanya memiliki jatah putaran sekali lagi saja. Pfiuuuh...!

Menikmati pemandangan dari canal cruise
            Setelah menaiki kapal cruise, saya dan suami memilih duduk di deretan bangku terdepan. Diam-diam kami meredam rasa lelah yang belum usai. Bayangkan saja. Seharian ikut rombongan tour ke Zaanse Schans, Marken, dan Volendam, tanpa istirahat. Lalu langsung dirangkai dengan keliling kanal Amsterdam.
            “Jangan foto wajah. Nanti hasilnya kacau,” ujar saya ketika suami mengarahkan tongsis ke arah wajah kami berdua. 

Eeeeh ... bagus juga kok hasilnya ya. *siap diguyur* ^_^

            Sambil tertawa, akhirnya suami saya pun mengalihkan kamera sakunya membidik gedung-gedung di tepian kanal yang kami lewati. Saya juga tak mau kalah dan sibuk membidik. Saking semangatnya, saya mengeluarkan tangan dari jendela kapal. Hampir saja hape saya nyemplung di kanal. Ups! Sesaat saya terdiam dan suami hanya bisa geleng-geleng kepala. Hihi ... nggak tega marah dianya. Mungkin karena sudah lelah. *hahahaha ... bekep mulut sendiri* 

Kafe di atas boat (dokpri)

Rumah mungil di atas kapal itu terlihat unik sekali (dokpri)

              Kembali ke perjalanan. Kapal yang membawa kami menyusuri kanal dilengkapi oleh rekaman audio berisi penjelasan tentang sejarah kota Amsterdam. Beberapa gedung yang kami lewati di kiri kanan kanal ternyata sarat dengan sejarah. Disebutkan bahwa ada sekitar 20 ribu gedung tua yang dibangun di atas tanah 800 hektar. 


Kapal cruise yang kami naiki melewati terowongan itu (dokpri)
            Gedung-gedung tua itulah yang dijadikan aset oleh Pemerintah Amsterdam dengan melindungi serta mempertahankan keaslian bentuk luar bangunannya. Sayangnya, kecepatan tangan saya dan suami tidak mampu mengabadikan semua gedung yang disebutkan. Apalagi setelah insiden hape hampir nyemplung tadi. Saya jadi mendadak kalem dan hanya memuaskan pandangan saja. 
Museum Anne Frank yang tidak sempat saya kunjungi (dokpri)

Menikmati sunset dari atas kapal cruise (dokpri)

            Akhirnya, hati saya sedikit terobati. Walaupun tidak sempat masuk ke dalam museum tersebut, saya masih sempat mengabadikan bangunan luarnya. Gedung itu adalah Anne Frank House yang sejak awal tiba di Amsterdam ingin sekali saya kunjungi. Namun, waktu kami tak cukup untuk itu. Saya cukup puas dengan sekadar menyimpan tampak luar gedungnya saja. Hingga waktu perjalanan pun berakhir menyusuri kanal Amsterdam.

Menyusuri Sungai Main di Frankfurt
            Keesokan paginya, kami harus segera kembali ke Frankfurt untuk menuntaskan trip. Kami kembali menempuh perjalanan dengan kereta api cepat menuju stasiun Frankfurt. Setelah check in di hotel, kami tidak mau membuang waktu lagi. Saya dan suami sepakat untuk kembali menaiki kapal cruise. Kali ini bukan menyusuri kanal, melainkan menyusuri pemandangan dari tepian Sungai Main.

Antriannya panjang ^_^
Hari terakhir berkapal ria (dokpri)
            Bagi wisatawan yang ingin melihat gedung-gedung di tepian Sungai Main sambil bersantai, bisa menaiki kapal ini. Kami memutuskan untuk membeli tiket kapal. Dengan menaiki kapal Primus Linie dengan tarif 8,9 Euro untuk 50 menit perjalanan, kami pun ikut menyusuri tepian Sungai Main bersama rombongan turis lainnya. 

Literaturhaus (dokpri)
            Bangunan-bangunan yang terlihat dari Sungai Main merupakan bangunan tua. Diantaranya adalah Dreikonigskirche (gereja), Literaturhaus, EZB, Main Plaza, Sachsenhausen, dan Main Plaza. Tidak semua gedung terekam di kamera hape kami. Cukup memandanginya saja. Bisa jadi kami sudah kehabisan energi. *ngeleeess ... hihi*

Main Plaza (dokpri)
EZB (dokpri)
           Menikmati pemandangan dari atas kapal Primus Linie menjadi akhir dari perjalanan kami yang telah saya ceritakan mulai dari bagian pertama di blog ini. Semoga rangkaian perjalanan ini mampu memberi inspirasi dan motivasi bagi yang ingin mengunjungi kota-kota serupa.  Terima kasih untuk kamu yang telah mengikuti perjalanan ini sejak awal hingga akhir. Salam. [Wylvera W.] 

Note:
Jika ingin mengikuti catatan perjalanan kami dari awal, bisa dilihat di part 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...