Selasa, 10 November 2015

Dari Tower Bridge, Sherlock Holmes Museum, sampai ke Buckingham Palace

#Jalan-Jalan Nekat (part 6)


Di hari ke-5 (25 November 2014) kami tetap berusaha bangun sebelum subuh. Sedikit berbeda dari empat hari sebelumnya. Suami saya tidak bisa ikut menemani kami mengeksplor kota London. Mulai tanggal 25 – 27 November 2014 beliau harus mengikuti kursus Macro Prudential (gabungan makro dan mikro ekonomi) di Bank of England.
Walaupun kurang seru tanpa si Bapak, saya dan anak-anak tidak mau juga kalau hanya diam di penginapan. Kami bertiga harus siap melakukan penjelajahan. Tidak masalah, yang penting pegang map, punya tujuan, punya tiket kereta dan bis, dan sedikit mahir berbahasa Inggris tentunya, biar tidak tersesat di London.
Mampir ke Tower Bridge 
Kami berangkat sedikit lebih siang dari hari sebelumnya. Sekitar jam 7 pagi waktu London. Perjalanan kami tetap dimulai dari stasiun bawah tanah Camden Town. Kali ini kami menaiki tube  dengan rute menuju Bank Station. Kami ikut si Bapak sampai ke lokasi Bank of England yang tidak jauh dari stasiun itu. 
Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Gerbong kereta dipadati oleh mayoritas penumpang yang akan berangkat kerja. Aroma parfum pun menyeruak. Wanginya berganti-ganti. Perjalanan singkat menuju Bank Station itu membuat saya sibuk menebak-nebak merek parfum yang dipakai bule-bule di dekat saya. Hahaha ... iseng. Iya dong, wanginya nggak ada yang standar. Semuanya terkesan berkelas di penciuman saya. Halaaah ...!

Di situ pintu masuk Underground Bank Stationnya (dokpri)
Tak berapa lama, kami pun sampai di Bank Station. Sebelum mencapai pintu keluar, kami harus berjalan bersama sebagian penumpang tube yang juga turun di situ. Mira, anak sulung saya sempat berkomentar.
“Kebayang enaknya kalau aku bisa kuliah di sini deh, Bu. Aku suka melihat rutinitas pagi dan sore di London ini. Meski terjadwal begitu setiap harinya, tetap ada kesan nyeninya. Aku suka banget style bule-bule ini,” ujarnya sambil terus berjalan menyamai langkahku di lorong stasiun menuju pintu keluar.
“Iya, makanya kalau memang pengin bisa nerusin study di sini, ya harus punya planning jauh-jauh hari, Kak. Gak bisa di situ mau di situ dapat. Kalau nggak bisa dapat beasiswa ya agak susahlah. Biaya hidup di sini tinggi banget,” balasku membuka realita agar Mira paham, bahwa mencapai mimpi besar itu harus punya perencanaan yang matang. Apalagi mimpi itu harus diraih dari negeri sekelas United Kingdom. Aku tidak mau Mira bermimpi dan seterusnya meletakkan mimpi itu sepenuhnya di pundak Bapaknya. Dia harus mampu menatanya dengan usaha yang maksimal dan tidak semata-mata bergantung pada uang Bapaknya.
Baidewey, silakan berangan-angan, Nak. Lambungkanlah mimpimu, tapi jangan lupa menyertakannya dengan realita, agar kau paham bagaimana proses untuk mencapainya, bisikku dalam hati. Setelah itu, kami kembali diam menikmati irama langkah kaki-kaki jenjang yang bergegas mencapai tempat kerja mereka masing-masing.
Tidak berapa lama, kami pun sudah berada di mulut pintu masuk Underground Bank Station. Masih ada waktu sekitar 45 menit lagi menuju jadwal kursus suami saya. Karena belum sempat sarapan di penginapan, kami pun memutuskan untuk mampir ke semacam kafe terdekat. Kami memesan teh manis hangat dan kue-kue yang rasanya manis bukan main. Sebenarnya saya tidak begitu suka, tapi demi mengganjal perut, okelah.
Selesai menghabiskan minuman dan sepotong kue, suami pun pamit dan meninggalkan kami bertiga. Saya dan anak-anak langsung menuju Tower Bridge yang lokasinya masih bisa dicapai dengan berjalan kaki. Lumayan capek memang, apalagi udara tidak terlalu mendukung. Seperti itulah, udara dingin ternyata lebih cepat membuat sendi-sendi terasa lelah. Namun, semangat tetap memancar dari mata Mira dan Khalid. Meskipun selalu sedikit tertinggal di belakang, saya harus tetap semangat menyamakan langkah dengan mereka.

Berfoto dengan latar Tower Bridge. Minus si Bapak. (dokpri)
Kalau ini namanya Tower Bridge (dokpri)
Sekitar 20 menit berjalan kaki, kami pun tiba di lokasi Tower Bridge. Sebelumnya saya dan anak-anak sempat terkecoh dengan lokasi Tower Bridge dan London Bridge. Letak London Bridge tidak jauh dari Tower Bridge dan keduanya sama-sama berada di atas River Thames.

Nah, ini baru London Bridge (dokpri)
Tower Bridge adalah salah satu jembatan yang cukup terkenal di dunia. Jembatan ini bisa diangkat jika ada kapal besar yang akan lewat di bawahnya. Kabarnya, pembangunan jembatan ini menghabiskan waktu sekitar 8 tahun (1886 – 1894). Wow! Lama juga ya?

Mira, saya, dan Roseanne - (dokpri)

Karena masih di jam kerja, maka area di sekitar jembatan yang populer di London itu keliatan sepi. Kami pun sibuk mengambil foto. Mira juga tak mau ketinggalan berpose bersama novel terbarunya. Sayangnya saya justru lupa membawa buku-buku karya saya. Mira pun meminta saya ikut berpose dengan novelnya. Klik! Saya dan “Roseanne” pun foto bersama dengan latar belakang Tower Bridge yang megah.
Mampir ke rumah Sherlock Holmes
Setelah puas berfoto-foto, saya dan anak-anak kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan berikutnya adalah Sherlock Holmes Museum. Saat ke London lima tahun lalu, saya terlewat menyinggahinya. Kali ini tidak boleh lagi. Apalagi anak-anak saya sudah menjadwalkannya di list perjalanan kami.
Dari stasiun terdekat di sekitar Tower Bridge kami harus mengambil rute yang menuju Baker Street Station. Museum Sherlock Holmes yang berbentuk rumah itu ada di 221B Baker Street. Museum ini sudah ada sejak tahun 1990. Lokasinya pun sesuai dengan alamat yang tertera di novelnya. 

Di depan pintu masuk museum (dokpri)
Mengisi buku daftar pengunjung museum (dokpri)
Yaaay! Ada nama kami di situ! (dokpri)
Sebagai penggemar karya dr. Sir Arthur Conan Doyle (penulis dari Skotlandia) ini, tentu saja museum Sherlock Holmes menjadi salah satu tujuan saya. Sherlock Holmes adalah seorang detektif (fiktif sebenarnya) yang cerdik, unik, serta mampu mengadopsi hampir semua penyamaran dalam kasus-kasus yang diselidikinya. Bagi penggemar novel-novel Sherlock Holmes, pasti bisa lebih rinci menggambarkan sosok pria yang belakangan akrab dengan cangklong di bibirnya.
Itu salah satu fotonya (dokpri)
Lagi serius banget membaca sejarah Sherlock Holmes (dokpri)
Begitu tiba di depan museum, kami melihat antrian pengunjung yang tidak begitu ramai. Mungkin karena bukan hari libur. Tapi, jangan coba-coba datang di siang hari saat hari libur. Apalagi saat musim dingin. Antrian yang panjang akan membuat kita terlanjur lelah sebelum masuk. Oh iya, museum ini selalu buka setiap hari mulai jam 9 sampai 6 sore. 

Kamar Sherlock Holmes (dokpri)
Setelah berfoto bersama penjaga pintu museum, kami pun masuk ke toko merchandise yang menjual segala suvenir dan buku-buku Sherlock Holmes. Di toko itulah tempat penjualan tiket masuk ke museumnya. Harga tiketnya £8 untuk dewasa, £5 untuk anak-anak (di bawah 16 tahun). Setelah membeli tiket masuk, kami pun kembali keluar. Letak museum bersebelahan dengan toko merchandise tersebut.
Koleksi novel Sherlock Holmes yang boleh dibeli (dokpri)
Begitu naik ke lantai satu, mata kami langsung fokus pada isi museum. Penggambaran dan tata letak isi museum seolah mengisyaratkan bahwa tokoh fiktif Sherlock Holmes ini benar-benar ada dan hidup di zamannya. Di novelnya, Sherlock Holmes tidak tinggal sendiri. Dia tinggal di rumah itu bersama sahabat dekatnya, dokter John H Watson. Maka barang-barang Watson juga ada di museum ini. Karena saking excitednya, kami tidak merasa bahwa anak tangga yang kami naiki sejak tadi sudah mencapai empat lantai. Luar biasa! Itu kesimpulan saya.
Kamar dr. Watson (dokpri)
Puas sudah mata melihat dan mengabadikan isi museum Sherlock Holmes dalam kamera. Kami pun keluar dengan membawa catatan yang berjejal di kepala. Tiba di luar, cuaca lumayan cerah. Saya melirik jam tangan. Masih jam dua belas siang. Melihat cuaca yang cerah, anak-anak saya request untuk mengembalikan dua payung kami ke penginapan. Alasan mereka, berat dan ribet membawa-bawa dua payung di cuaca cerah.
Sebenarnya dalam hati saya ingin menolak. Hujan tidak bisa ditebak kapan turunnya selama di London ini. Tapi Mira dan Khalid sepakat meminta saya kembali ke penginapan sebelum melanjutkan perjalanan. Baiklah, saya menuruti mereka. Setidaknya kami bisa makan siang dan menjamak waktu sholat.
Gerimis di Buckingham Palace
Selesai makan dan sholat, kami kembali bergegas menuju stasiun untuk melanjutkan destinasi berkikutnya. Tujuan terakhir di hari kelima ini adalah Buckingham Palace. Tiba di Green Park Station, kami harus berjalan kaki lagi menyusuri taman yang memilik nama sama dengan stasiunnya.
Istana ini adalah tempat kediaman resmi Ratu Elizabeth II dan menjadi kantor adiministrasi kerajaan Inggris. Bangunan aslinya didirikan pada tahun 1850, lalu didesain ulang pada 1913. Menurut sejarahnya, Buckingham Palace ini dipersembahkan oleh Duke of Buckingham kepada istrinya. Raja George IV meresmikan istana ini pada tahun 1826. Dari sinilah nama Istana Buckingham diambil. Saat Ratu Victoria bertahta, istana ini resmi dijadikan sebagai kantor administrasi kerajaan Inggris (1837).
Green Park yang mulai kecokelatan (dokpri)
Musim dingin mengubah warna Green Park menjadi abu-abu (dokpri)
Tidak lengkap rasanya jika berkunjung ke London tanpa mampir ke Bukcingham Palace. Sama seperti kami, turis dari berbagai negara pun menjadikan istana ini sebagai salah satu lokasi wisata favorit. Itu sebabnya, area istana ini tidak pernah sepi oleh turis. Sayangnya, Istana Buckingham tidak dibuka untuk umum setiap hari. Sudah ada jadwal khusus yang diberlakukan oleh pihak istana, yaitu di musim panas (bulan Juli – September). Kedatangan kami di musim dingin, maka kami harus puas dengan menikmati dan mengagumi keindahan istana dari luar saja.

Mira dan Khalid di depan Buckingham Palace (dokpri)

Tidak jauh dari Istana Buckingham, ada taman yang sangat terkenal di London. St. James Park namanya. Taman ini milik kerajaan yang terbuka untuk umum. Kami pun bergegas menuju ke sana. Saya ingin sekali memperlihatkan kepada anak-anak saya keindahan taman itu. Namun, saat semangat-semangatnya ingin menelusuri St. James Park, tiba-tiba gerimis turun. Saya tersenyum melihat ekspresi wajah Mira dan Khalid. Keputusan mereka untuk mengembalikan dua payung yang biasa kami bawa kemanapun selama di UK itu, ternyata salah. 
St. James Park di tengah gerimis (dokpri)
Foto saat saya pertama kali ke sini (dokpri)
Kalau hujan tidak turun dan cuaca tidak berubah mendung, di taman ini kita bisa menikmati pemandangan yang indah. Bangku-bangku yang disediakan di sepanjang jalan taman itu,  seharusnya bisa dipakai untuk besantai sambil memandangi bebek-bebek yang berenang di kolamnya. Bahkan beragam jenis burung serta tupai biasanya berlarian di sekitar taman. Apa boleh buat, kami harus mengurungkan niat untuk itu. Keputusan akhir adalah segera kembali ke stasiun dan pulang ke penginapan hingga menunggu si Bapak kembali dari kursus.
Sampai di sini, masih sabarkah menunggu lanjutannya? Tunggu ya! [Wylvera W.]

Note: Catatan part sebelumnya (part 5) ada di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...