Jumat, 28 Juni 2019

Bertandang ke Desa Hobbit


 Setelah memuaskan hati dalam keromantisan perjalanan Whanganui hingga ke Auckland, kami kembali menemukan keseruan di destinasi berikutnya. Pagi menjelang siang hari itu, kami meninggalkan Hotel Grand Millenium di Auckland. Perjalanan kami selanjutnya adalah ingin menemukan tanah pertanian yang berlokasi dekat Matamata, Pulau Utara Selandia Baru.
               Yap! Di sana lah letak The Shire, desa cantik tempat tinggal para hobbit, ras humanoid yang tinggal di Middle Earth dalam dunia fiksi versi Tolkien. Tolkien menggambarkan mereka sebagai makhluk bertubuh pendek dengan telinga lancip memanjang ke atas dan bertelapak kaki lebar. Bagi penggemar film The Lord of the Rings, rasa penasaran pada desa para hobbit dalam film tersebut menjadi obsesi tersendiri untuk mengunjunginya. Begitu juga dengan saya dan suami. Lalu benarkah Desa Hobbit itu nyata? Yuk, ikuti perjalanan kami berikutnya di Selandia Baru.

Yang sana selalu fokus 😄

              Perjalanan panjang kembali dimulai. Kami benar-benar menikmati setiap kilometer lokasi yang dilewati. Lahan hijau berbukit itu begitu indah dan asri. Mata saya terasa segar dan tak ingin tertidur sekejap pun. Suami yang sedang menyetir pun sesekali menoleh sisi kanan dan kiri sambil mengucapkan rasa kagum pada keindahan alam Allah ini.

Kali ini kami lebih sering berpapasan dengan kendaraan lain
Yang hijau begini selalu bikin tenang
               Setelah melewati lebih dari dua jam perjalanan, saya hampir tidak sabar ingin segera sampai di lokasi syuting film favorit kami sekeluarga itu. Seperti alur filmnya, kami benar-benar dibuat penasaran. Seakan-akan sudah dekat lagi, ternyata masih sekian kilometer yang harus kami tempuh. “Yah! Masih 4,5 kilometer lagi,” ujar suami saya ketika melihat petunjuk jalan yang kami lewati.

Nggak nyampe-nyampe 😅
Horeee! 6 km lagi! 
              Kesabaran dan rasa penasaran kami akhirnya terbayar. Kami tiba di area parkir. Wah! Ramai sekali ternyata. Cuaca pagi menjelang siang itu memang cukup cerah. Sampai di situ saja saya sudah girang bukan main. Padahal itu belum benar-benar tiba di Hobbiton Movie Set yang ingin kami lihat. Kami harus membeli tiket terlebih dahulu untuk bisa menaiki bus yang akan membawa kami tur ke lokasinya.

Dari sini masuknya ya
Suami beli tiketnya dulu
Fotoan dulu aaah!
           Sambil menunggu jam keberangkatan yang berjarak setengah jam sekali itu, suami mengajak saya berfoto ria. Setelah puas mengambil foto, kami pindah ke sebuah kafe. Banyak sekali yang menunggu di kafe ini. Menikmati secangkir kopi dan makanan ringan di The Shires Rest Café menjadi pilihan yang asyik.



Asyiiik ... sudah siap tur 😍
Ngopi dulu sambil nunggu antrian bus
             Pemandu wisata pun mulai memberi aba-aba ketika bus yang akan membawa rombongan kami tiba. Sambil menunggu giliran naik bus, saya membaca selebaran yang diberikan penjual tiket. Di situ tertulis sejarah lokasi tempat syuting film yang mengisahkan tentang para hobbit yang ada di film The Lord of the Rings
              Lokasi pembuatan film LOTR sebenarnya tersebar di beberapa tempat. Ada yang di North Island maupun di South Island. Kesempatan yang kami manfaatkan kali ini adalah mengunjungi daerah Matamata karena di sinilah perbukitan dan rumah The Hobbit berada dengan rancangan detil yang menawan.
Siap naik bus
"Yang rapi ya antrinya!"
Busnya kereeen!
               Ketika menemukan sebuah peternakan domba dan sapi yang spektakuler dengan luas 1.250 hektar milik keluarga Alexander, membuat sang sutradara  Peter Jackson merasa mimpinya menjadi sempurna. Ia seperti menemukan tempat yang fantastik untuk mewujudkan novel klasik karya J.R.R. Tolkien dalam sebuah film yang spektakuler pula.


"Dari sini titik startnya yaaa!"
Mau memulai tur dari arah mana? East farthing atau West farthing?
Sejauh mata memandang ... hanya desa hobbiton yang cantik!😍
Rumah Bilbo dan Frodo Baggins
               The Shire ternyata sebuah desa yang tidak hanya ada di dunia khayalan Tolkien tapi ada di dunia nyata. The Shire dibangun sedemikian rupa sebagai tempat syuting film The Lord of the Rings dan trilogi The Hobbit yang merupakan prekuel LOTR. Lokasi syuting itu pun dipertahankan bentuk aslinya dengan nama Hobbiton Movie Set yang menjadi destinasi menarik bagi para wisatawan. 


Ini rumah siapa ya? Lupa saya ih 😚
Kami di depan rumah Samwise, sahabat Frodo
Rumah tetangga Frodo

               Tur kami akan menghabiskan waktu sekitar dua jam lebih. Mulai di dalam bus, pemandu wisata  melengkapi kisah tentang Hobbiton Movie Set. Bagi yang belum mengetahui awal mula sang sutradara LOTR, Sir Peter Jackon menemukan kawasan indah yang disulap menjadi The Shire itu, cerita sang pemandu wisata menjadi sebuah fakta unik dan mengesankan.


Pintunya masih ditutup ini .... 😅
Jemurannya belum kering 

Menunggu pujaan hati 😘
Yang ditunggu akhirnya datang juga 😝
          Pada bulan September 1998, Sir Peter Jackson dan New Line Cinema melakukan pencarian lokasi syuting untuk film LOTR lewat udara. Peter Jackson menargetkan secara spesifik tentang lokasi itu, yaitu harus mirip dengan apa yang digambarkan Tolkien di novelnya yang berjudul The Shire. Lahan hijau berbukit yang masih asri dengan danau luas berada di tengahnya serta pemandangan yang indah mengitarinya. Akhirnya Jackson dan timnya menemukan peternakan milik keluarga Russel Alexander.
Ingat kan ya, Gandalf pernah lewat dari jalan ini
Backville's apple orchard

               Jackson sangat terpesona dan takjub melihat lahan peternakan yang berada di belakang rumah keluarga Alexander. Jackson pun mengatakan maksud kedatangannya kepada keluarga Alexander. Dengan negosiasi yang mulus, akhirnya pada bulan Maret 1999, pembangunan lokasi syuting LOTR pun dimulai. Pembangunan lokasi dibantu oleh Angkatan Darat Selandia Baru dengan menggunakan alat-alat berat pemindah tanah. Karena belum ada jalanan beraspal, mereka membangun jalan sepanjang 1,5 km dari jalan utama menuju lahan peternakan Alexander.


Pohon tua Hobbiton di Party Field
Kita pinjam ayunannya dulu ya
               Di bulan Oktober 1999, syuting film perdana dari trilogi The Lord of the Rings, berjudul The Fellowship of the Rings pun dimulai di Wellington. Sementara itu, pembangunan lokasi syuting Hobbiton terus berjalan. Selanjutnya di bulan Desember 1999, perjalanan syuting di Hobbiton pun dimulai dan menghabiskan waktu selama 3 bulan.


Yuk, mancing dulu ....😘
Area Watermill yang bikin mata fresh
Rasanya semua spot mau dijadikan tempat fefotoan 😉
               Sayangnya, setelah syuting dan pengambilan gambar selesai, bangunan rumah para hobbit di peternakan itu dimusnahkan.  Sementara setelah film pertama dirilis, penduduk setempat penasaran pada cerita mengenai lokasi syuting film LOTR yang berada di area tempat tinggal mereka. Mereka baru menyadari bahwa di salah satu peternakan itu telah berlangsung syuting film versi Hollywood. Namun ketika mereka datang mengunjungi lahan peternakan keluarga Alexander, mereka tidak menemukan Desa Hobbit yang didesas-desuskan itu. Mereka kecewa setelah mendengar bahwa semua lokasi syuting sudah dimusnahkan.
               Jackson akhirnya kembali lagi mengunjungi Alexander pada tahun 2009. Ia meminta izin Alexander untuk membangun kembali lokasi syuting The Shire untuk film prekuel The Lord of the Rings, trilogi The Hobbit di peternakan yang sama. Alexander memberi izin dengan syarat agar ketika syuting selesai, The Shire tidak boleh dihancurkan kembali. Jackson sepakat dan menyanggupi syarat yang diajukan.


Ada yang ingat bangku dan buku siapa itu?

Tempat mengambil air
               Pembangunan lokasi syuting akhirnya dimulai kembali dengan menggunakan bahan-bahan permanen. Ketika lokasi tersebut dibangun kembali untuk The Hobbit Trilogy pada tahun 2009, struktur ini dibangun dari bahan permanen tanpa pohon buatan yang terbuat dari baja dan silikon. Seluruh proses rekonstruksi ini memakan waktu dua tahun.


Kita mau bertamu dulu yaaa ....😉
               Ada 39 Hobbit Holes (lubang hobbit) dibuat dengan kayu asli yang tidak diolah, dibangun berderet lengkap dengan detilnya sampai dilengkap dengan jemurannya. Di antara lubang hobbit (rumah hobbit) itulah rumah Bilbo Baggins, Frodo Baggins, dan Samwise Gamgee bersama istrinya Rosie Cotton.  Beberapa daun buatan didatangkan dari Taiwan dan disambungkan ke pohon. Jembatan lengkung dibangun begitu menawan.
               Hobbiton dikelola secara professional dan terorganisir lalu dibuka untuk umum dan para turis. Sampai hari ini, Hobbiton masih dikelolal oleh keluarga Alexander. Alhamdulillah, kami mendapat kesempatan mengunjungi Hobbiton dengan pemandu wisata dalam pengelompokan tur yang rapi dan memuaskan.
               Beberapa kali kami tertinggal oleh rombongan karena sibuk mengambil foto. Yah, kapan lagi bisa mengulang momen ini. Meskipun dalam hati saya berharap bahwa suatu hari nanti, saya akan mengajak anak-anak kembali ke tempat ini. Kalau saja kami tidak ikut rombongan, saya ingin sekali masuk ke dalam rumah Frodo dan melihat isi dalamnya lalu memoto lebih banyak lagi. Namun saya dan suami hanya sempat berfoto saja di pintunya yang lucu.
               Saya tidak perlu merasa kecewa karena tidak bisa melihat semua sisi bangunan itu. Melihat eksterior rumah para hobbit saja sudah sangat membuat saya takjub. Apalagi membayangkan beberapa scene LOTR yang benar-benar ada di dunia nyata itu. Detil yang luar biasa mereka buat, membuat saya terus memikirkan kreativitas yang mereka miliki.


Dari sini masuk ke kedainya
Salah satu perapian yang sering dijadikan spot foto oleh pengunjung
Suasana kedai tanpa para hobbit
               Setelah selesai mengajak kami berkeliling, pemandu wisata yang humoris itu pun memberi kesempatan kepada anggota rombongannya untuk melihat-lihat area yang masih layak untuk diabadikan dalam frame kamera. Kami juga memaski The Green Dragon Pub, tempat salah satu scene LOTR ketika Frodo Baggins, Sam Gamgee, Meriadoc Brandybuck dan Peregrin Took menikmati suasana.
Yang di cangkir itu isinya air putih kan, Bang? Hahaha
Belum lengkap kalau nggak foto di perapian favorit ini
               Saya dan suami mengabadikan momen duduk berdua di depan perapian yang selalu menyala di kedai itu. Interior Green Dragon Pub ini memang dibikin sealami mungkin dengan pintu bulat ala rumah hobbit, bangku-bangku kayu yang bentuknya klasik, gentong besar dan masih banyak yang membuat saya merasa sedang berada dalam suasana adegan film LOTR. Sayang, kami enggak bertemu Frodo dan kawan-kawannya di situ. Hehehe
               Di Green Dragon Pub, pengunjung juga bisa memesan minuman para hobbit, seperti Oak Barton Ale dan Southfathing Ginger Ale dan Sackville Cider. Namun kami hanya memesan secangkir air putih saja. Hahaha ….
               Sampai di sini dulu cerita saya tentang bertandang ke Desa Hobbit, The Shire, Hobbiton Movie Set ya. Habis ini, masih ada cerita penutup dari dua destinasi lagi yang akan saya bagi. Mohon sabar menunggu.

Note:
Cerita sebelumnya
1. sini
2. sini
3. sini
4. sini

Semua foto adalah milik penulis, dilarang mengambil tanpa izin ya😎

Senin, 17 Juni 2019

Keromantisan Whanganui dan Auckland


        Whanganui memiliki tempat-tempat menarik bagi para turis. Namun apa daya, tujuan kami traveling ke Selandia Baru bukanlah untuk menyinggahi tempat-tempat wisata di kota-kota yang kami singgahi. Kami memilih kota-kota itu hanya untuk beristirahat dari kelelahan menyetir sekian ratus sampai ribuan kilometer.
         Jujur, namanya traveling ke negara yang segala sesuatunya relatif mahal, ada rasa sedikit kecewa di hati. Biasanya kami melakukan perjalanan ke negara di luar Indonesia, selalu ada cerita yang saya bawa pulang tentang tempat-tempat khusus yang menjadi tujuan wisatawan ke negara tersebut. Kali ini, sangat berbeda. Tidak ada dalam rencana perjalanan kami untuk menyinggahi tempat-tempat wisata itu.
      Begitu pula ketika memasuki Whanganui dan menginap di kota yang merupakan salah satu destinasi dengan panorama alam sangat indah itu. Saya harus ingat pada komitmen awal dengan suami bahwa tidak ada jadwal berwisata atau mampir-mampir syantik menghabiskan waktu.

Just driving along the road
         Dari Whanganui, kami kembali melanjutkan perjalanan menyusuri jalan-jalan yang tenang dan menyejukkan mata. Memasuki kota-kota kecil dengan nama yang agak sulit saya mengingatnya karena hampir semua menggunakan Bahasa Maori. Kota-kota itu selalu terlihat cantik dengan rumah-rumah yang tertata rapi, tenang, dan tertib.

Ups! Bu Sopir lagi serius menatap masa depan 😝

Gantian yang serius nyetir. 😎

             Ditambah peraturan lalu lintas yang dipatuhi sedimikian taat oleh setiap pengguna kendaraan. Membuat kami tidak pernah khawatir disalib tiba-tiba di tikungan atau keluar dari jalur dan marka jalan. Ketika menyetir, satu hal yang sangat membuat saya percaya diri adalah adanya alat pengontrol kecepatan di mobil yang kami sewa. Saya tidak terlalu khawatir akan terlena dan lupa diri untuk menekan pedal gas menanjak dalam putaran kecepatan di luar batas ketentuan.

Tidak akan jenuh menyetirnya

         Betapa ini menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi saya. Dulu saat di Amerika, saya ingin sekali mengganti posisi suami menyetir saat kami melakukan perjalanan panjang selama 15 hari. Namun itu tidak terjadi. Waktu itu saya belum punya SIM Internasional yang saya tahu bahwa Amerika sangat ketat dengan peraturan menyetir ini. Meskipun di salah satu blog pelancong yang pernah menyetir di New Zealand, kata penulisnya ia tidak perlu mengurus SIM Internasional. Namun suami saya lebih memilih yang pasti dan aman. SIM Internasional yang kami miliki lebih membuat kami percaya diri ketika menyetir dari kota ke kota di negara itu.

Tariiik, Bu Piiir ...! 😀

            Menyetir di jalanan yang mulus, tenang, panjang serta nyaris tidak ada saingan kendaraan lain membuat jarak tempuh seolah begitu dekat. Yang perlu diwaspadai hanyalah hewan yang mungkin saja tiba-tiba menyeberang sebab di beberapa tempat ada sign board bergambar hewan. Ini menunjukkan pengendara harus berhati-hati terhadap hewan (domba atau sapi) yang mungkin saja terlepas dari pembatasnya lalu melintas di jalan. Untunglah, selama di sana kami tidak pernah melihat hewan-hewan yang melintas.

Serasa jalanan milik sendiri ini 😋

        Kami kembali memulai perjalanan menuju Auckland. Di pertengahan jarak, ada pesan dari teman saya yang pernah tinggal di New Zealand. Sekarang mereka menetap di Sydney. Katanya dari Whanganui, sebelum tiba di Auckland, sempatkanlah mampir ke Lake Taupo. Walau rutenya sedikit memutar dan agak jauh.


Menepi sejenak bikin foto ini 😘 

          Saya bacakan pesan yang masuk ke hape saya itu ke suami. Tidak ada jawaban pasti. Walaupun kepengin, kita terpaksa harus kembali melihat kemungkinan dan kesempatan. Seperti apa Lake Taupo itu? Tentu saja sangat indah. Saya sudah melakukan penulusuran tentang New Zealand sebelum kami berangkat. Termasuk keindahan Lake Taupo. Namun lagi-lagi, tempat wisata terkenal itu tidak masuk dalam list perjalanan kami.

Honeymooon?       
    Setiap traveling berdua, ada saja pertanyaan tentang honeymoon. Maka jika ditanya, kali ini honeymoon yang keberapa, saya terpaksa harus mengintip album foto perjalanan yang lainnya. Sebab setiap kali terbang ke luar negeri atau domestik berdua, kami seolah-olah sedang menikmati bulan madu saja. Jadi perjalanan ke Selandia Baru ini entah bulan madu yang keberapa yang pernah kami nikmati berdua. Saya lupa. Hahaha ….

Spot foto yang bikin buru-buru nginjak rem

Puas banget foto-foto di alam bebas ini 


              Karena kami tidak punya rencana untuk mampir di setiap tempat wisata kota-kota yang kami lalui, sebagai alternatifnya kami benar-benar menikmati setiap kilometer panorama yang kami lewati. Merasa bebas menentukan kapan harus berhenti di pinggir jalan yang rasanya semua layak untuk dijadikan latar belakang foto berdua. Suasana itulah yang membuat kami merasa sedang menikmati bulan madu yang unik.

Pak Suami candid ini

Dombanya somse, pada menjauh 😁


Lumayanlah bisa foto dengan mereka itu 👆😄
         Ketika melihat pantai yang sunyi, suami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Lazimnya orang yang beristirahat di dekat pantai dan tepat di bawah pohon yang rindang, tentu memilih menggelar matras atau alas duduk yang memadai. Karena kami tidak membawa matras apalagi karpet terbang ala Aladin dan Jasmine, maka sajadah pun jadi alternatif alas duduk kami berdua. Otomatis jarak duduk pun semakin merapat. Jadi tak perlu mengatur kemesraan sedemikian rupa. Semua terjadi alami ala suami istri. Catat ya ... suami - istri - halal. Hihihi ….
Pantainya sepi dan bersih

Camilan sederhana yang in shaa Allah halal

             Tidak adanya persiapan membawa alas duduk justru membuat suasana di antara kami semakin romantis, layaknya pasangan yang sedang menikmati suasana honeymoon. Hahaha … dilarang ikutan ngikik.
     Dari lokasi kami duduk, ada juga keluarga yang sedang mampir di tepi pantai itu. Hanya bedanya dengan kami, mereka membawa perlengkapan lengkap hingga alat untuk memanggang pun benar-benar disiapkan. Saya dan suami sebaliknya. Kami cukup menikmati camilan yang sempat kami beli di supermarket. Ngirit? Enggak juga sih. Sekadar menikmati nuansa yang berbeda saja, kata suami saya. Dan, inilah honeymoon ala kami.

Tiba di Auckland
       Menyetir bergantian yang kami lakukan, akhirnya membawa kami tiba di Auckland menjelang senja. Suami memilih Grand Millennium sebagai tempat penginapan kami. Kami disambut oleh resepsionis yang ramah. Begitu ia tahu kalau kami dari Indonesia, tidak ada lagi dialog dalam Bahasa Inggris. Ternyata anak muda itu anak Bandung yang sedang mengadu keberuntungan dengan bekerja di Selandia Baru.


Lobi hotel
                 Keramahannya membuat rasa lelah kami setelah menempuh jarak dan waktu yang panjang, hilang seketika. Tanpa menunggu proses penyerahan kunci yang bertele-tele, anak muda yang saya lupa namanya itu pun menyerahkan kunci kamar ke suami saya. Melihat penampakan lobi hotel yang lumayan mewah, saya sudah bisa menebak kalau kamar yang dipesan suami untuk kami berdua juga tidak jauh berbeda dengan hotel atau penginapan sebelumnya.

Restorannya

        Dugaan saya tidak meleset. Suami seperti menebak pikiran saya. Bibirnya tersenyum dan berkata, “Please my queen ….” sambil kembali merentangkan sebelah tangannya mempersilakan saya masuk. Masya Allah …. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Saya terharu dengan cara suami menyenangkan hati saya. Meskipun saya tidak pernah meminta hal-hal seperti itu. Saya sangat menghargai upayanya selama perjalanan di negeri yang dalam bahasa Maori disebut sebagai Aotearoa (tanah berawan putih panjang) ini. Thank you ya, Abang ….

Tempat tidurnya menggoda buat langsung pules 😅

Kamar mandi paket komplit

           Setelah beristirahat sejenak dan membersihkan badan, suami mengajak saya keluar untuk jalan-jalan melihat suasana di luar hotel. Ia tidak memberitahukan akan ke mana. Saya mengikuti saja. Ternyata suami membawa saya ke lokasi yang lumayan populer.

Mengunjungi salah satu Ikon di Auckland
         Auckland merupakan “rumah” bagi lebih dari 1, 4 juta orang (sepertiga dari populasi di Selandia Baru). Kota yang besar, sibuk, multikultur, penuh semangat, dan menyenangkan. Ada banyak hal yang bisa dilihat dan dilakukan di kota Auckland. Karena kami hanya punya waktu semalam, maka suami memilihkan satu tempat yang menjadi icon kota ini. Sky Tower namanya. Bangunan dengan struktur tertinggi di Southern Hemisphere dan menyajikan lebih dari seratus pemandangan yang dapat dilihat dari puncaknya. Masya Allah ….


         Setelah membeli tiket masuk, kami ditawari untuk berfoto di depan beberapa latar terkait dengan penampakan menara. Jadilah tiga foto ini hasilnya. Saat menyelesaikan catatan ini, saya baru ingat belum sempat mengunggahnya di website yang mereka berikan ketika itu. Untung belum lewat tanggal batas unggahnya. Selebihnya kami menggunakan kamera hape untuk melengkapi foto kenangan lainnya. Hehehe ... ngirit sih kalau ini.




           Pembangunan Sky Tower dimulai pada tahun 1994. Pada saat itu dianggap sebagai penggunaan dana terbesar di Selandia Baru. Seperti banyak bangunan besar lainnya, Sky Tower juga mengalami kontroversi. Banyak yang mengira bahwa menara itu akan merusak pemandangan dan tidak akan menarik cukup banyak pengunjung. Namun setelah bangunannya selesai dan dibuka untuk umum dan pengunjung pada bulan Agustus 1997, Sky Tower dengan cepat membalikkan opini publik. Sejak itu mereka tidak pernah mau mundur lagi. Hingga hari ini, Sky Tower menjadi salah satu ikon Selandia Baru yang paling dicintai oleh penduduk setempat dan terkenal ke seluruh penjuru dunia.

Foto pakai tongsis sendiri
             Sky Tower dilengkapi dengan sistim hidran kebakaran yang dapat memompa 2400 liter air per menit. Bangunannya akan tetap berdiri jika gempa berkekuatan 8.0 Skala Richter terjadi dalam jarak 20 Kilometer dari Sky Tower. Ada 1267 anak tangga mengarah dari dasar menara menuju sky deck-nya. Buat saya ini sangat menakjubkan.
             Alhamdulillah, kami bisa sampai di puncak tertingginya malam itu. Meskipun kami tidak mendapatkan pemandangan yang lebih jelas jika dilihat pada siang hari, tetap saja rasa syukur saya tak henti melihat kemegahan bangunan ini. Allah sudah memberi kami kesempatan untuk menginjakkan kaki di sana. In shaa Allah, bisa kami ulang kembali bersama anak-anak tercinta. Aamiin.

Pemandangan dari lantai 52


          Setelah puas berfoto dengan latar pemandangan yang penuh diwarnai oleh cahaya lampu-lampu dari kota Auckland, suami mengajak saya bersantai di restorannya. “This is the real honeymoon,” candanya setelah memesan makanan untuk kami. Dua gelas affogato dan satu tuna sandwich yang cukup kami nikmati berdua pun sudah terhidang di meja.

Yang gak kuat lihat ini, diskip aja ya. Wkwkwkwk
            Di awal, kami sibuk memanfaatkan tongsis untuk mengabadikan momen berdua saat berada di puncak menara. Kali ini, saya memberanikan diri meminta jasa pelayan restoran untuk memoto kami. Alhamdulillah, pelayannya welcome banget dan sigap memoto dengan arahan yang bikin kami tertawa bersama.



          Kami habiskan malam sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Bahagia itu memang sangat sederhana. Semua muaranya ada di pikiran dan hati. Jika keduanya merasakan nyaman, maka tidak ada alasan untuk menggerutu saat menjelang tidur. Justru doa dan ucapan rasa syukurlah yang layak kami pilih sebagai penutup malam di Auckland ketika itu.
    Esoknya kami akan menempuh perjalanan yang in shaa Allah lebih seru lagi. Siap-siap ya para penggemar film "The Lord of the Rings". Tunggu lanjutannya. Yang sabaaar ….😘

Note:
Cerita sebelumnya ada di:
1. sini
3. sini
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...