Kamis, 29 September 2016

Memilih Visa untuk BerHaji #1




          Setiap umat Islam yang memahami kewajibannya dalam memenuhi rukun Islam, tentulah menginginkan semua rukun tersebut bisa dipenuhi agar dirinya sempurna menjadi seorang muslim. Dari semua rukun Islam yang kita pahami, berhaji adalah sebuah pelengkap yang menjadi dambaan umat yang mampu memenuhinya. Saya dan suami pun menyimpan niat itu baik-baik dalam hati. Hingga pada waktunya, keinginan itu kian memuncak.
            Mengingat pendaftar untuk kuota calon Jemaah haji di Indonesia yang begitu banyak dan harus menunggu antrian panjang (5 – 10 tahun), kami akhirnya terus menimbang-nimbang. Jika ingin berangkat mengikuti prosedur yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah (Departemen Agama), kami harus sabar menunggu antrian yang sangat lama itu. Jika ingin memangkas waktu agar lebih cepat, kami mau tak mau dihadapkan pada pilihan cara keberangkatan dengan menggunakan visa di luar kuota.
Sebelum bercerita lebih panjang tentang perjalanan haji saya dan suami, saya akan mengawalinya dengan pilihan visa yang kami ambil. Kebetulan ada teman yang punya koneksi (travel) untuk bisa mengurus visa di luar kuota ini dengan jaminan keamanan yang membuat kami yakin untuk memilihnya. Dan, cara itulah yang kami ambil setelah melakukan browsing tentang segala konsekuensi yang bakal kami hadapi, termasuk biayanya yang cukup besar. Intinya, informasi yang kami terima bahwa selama ini belum ada yang terkendala dengan penggunaan visa ini. Kami pun percaya dan akhirnya berani mencoba. Semua berangkat dari niat tulus yang suci. Itu saja.

Berangkat Haji dengan Visa Ziarah
            Tahun 2015, saya dan suami serta pasangan suami istri (teman kantor suami yang istrinya juga sahabat saya), sempat mendapat tawaran berhaji dengan visa undangan khusus dari Kerajaan Arab Saudi. Sayangnya waktu itu, hanya visa suami saya dan suami teman saya yang keluar. Dengan beberapa pertimbangan (termasuk kembali pada niat awal yang ingin berhaji bersama), akhirnya kami membatalkannya.
            Setelah itu, kami pun kembali ditawari apakah mau mengulang proses berhaji dengan cara berangkat yang lebih cepat tahun depan. Karena keinginan dan niat yang sudah sedemikian kuat ingin menunaikan rukun Islam kelima ini, suami saya pun menerima tawaran itu. Demikian juga dengan pasangan suami istri (teman kami tadi).
Pemilik travel pun kembali meminta paspor kami untuk diproses. Namun waktu itu saya terpaksa mengambil paspor tersebut karena ingin melakukan perjalanan ke Frankfurt dan beberapa negara lainnya. Sekembalinya dari pesiar, saya menyetor paspor saya lagi ke pemilik travel tersebut. Sejak itu (akhir November 2015), paspor saya dan suami ada di tangan mereka. Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya di penghujung bulan Maret 2016, visa ziarah yang dijanjikan pun resmi menempel di lembaran paspor kami. Namun, paspor masih dipegang oleh pihak travel. Saya bahkan tidak sempat melihat status paspor saya (termasuk batas masa berlakunya).
Singkat cerita, tibalah waktu keberangkatan yang telah ditetapkan, yaitu tanggal 30 Agustus 2016. Mendapat kabar baik ini (baik menurut versi kami yang saat itu memang sungguh-sungguh ingin beribadah ke tanah suci-red), saya pun mulai mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama melaksanakan ibadah di tanah haram. Kami tidak lagi mencemaskan status visa ziarah yang sudah kami terima. Niat tulus kami yang ingin sekali menunaikan rukun Islam kelima itu, jauh lebih kuat dibanding pertimbangan berangkat dengan visa yang notabene kabarnya tidak disarankan oleh pemerintah Indonesia itu. Terlebih, jaminan keamanan yang dijanjikan sudah bulat menguatkan tekat kami.

Pertanyaan yang muncul di acara walimatus safar
Visa Ziarah yang sudah kami dapatkan tidak lagi menjadi pemikiran saya waktu itu. Saya pun mengabarkan kepada tetangga terdekat bahwa kami telah resmi akan berangkat menunaikan rukun haji. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap warga yang akan berangkat ke tanah suci dalam rangka berhaji, jema’ah masjid di lingkungan kami selalu menggelar acara pelepasan calon jema’ah haji. Tradisi ini pun akhirnya bergilir ke saya dan suami. Namun, waktu itu suami saya tidak pernah mendapat kesempatan untuk hadir di acara pelepasan yang dua kali dilakukan (masjid RW dan masjid komplek), karena harus dinas keluar kota memenuhi tugas kantornya. Sayalah yang selalu mewakili beliau. 

Walimatus Safar di rumah kami

Setelah acara pelepasan oleh para jema’ah di tempat tinggal saya, kami pun berniat menggelar acara walimatus safar di rumah sendiri. Sebelumnya, perlu kita lihat apa itu makna walimatus safar. Secara harfiah, walimatus safar memiliki makna “menjamu” atau “pesta” sebelum melakukan perjalanan jauh (safar). Sebagai warga masyarakat (dengan status perantau) yang hidup bertetangga dengan baik, tentunya kami tidak ingin pergi berhaji begitu saja tanpa berpamitan. Kami pun ingin mengundang tetangga untuk hadir memenuhi niat “berpamitan” sebelum meninggalkan tempat tinggal menuju tanah suci. 

Idem

         Sebenarnya tradisi walimatus safar ini tidak dikenal dalam manasik haji, karena tidak ada hubungannya sama sekali dengan tata cara ibadah Rasulullah saw. Dikhawatirkan juga ghairu masyru’ (tidak disyari’atkan/tidak boleh). Kami memohon ampunan kepada Allah SWT. Niat kami untuk melaksanakan walimatus safar semata-mata hanya ingin menguatkan silaturahmi, mensyukuri nikmat Allah yang telah membukakan jalan untuk kami berhaji, berbagi kebahagiaan seperti firman-Nya yang artinya; “dan terhadap nikmat Rabb-mu hendaklah kamu menyebut-nyebutnya”, menyampaikan permohonan maaf, berpamitan, serta menitipkan keluarga yang akan kami tinggalkan untuk rentang waktu yang cukup lama. Tidak lebih dari itu (tidak untuk pamer dan riya).

Nyaris pulang ke rumah
Seperti yang saya katakan tadi bahwa saya tidak lagi terlalu memikirkan status visa ziarah yang kami pilih untuk berhaji. Namun, saya tidak bisa mencegah pertanyaan tetangga. “Kloter berapa?” Ini salah satunya. Tentu saya tidak bisa menjawabnya, sebab kami berangkat dalam status non kuota yang bukan masuk dalam sebuah kloter. Untunglah yang bertanya tidak terlalu menginginkan jawabannya. Saya pun tetap menyimpan proses kami mendapatkan visa tersebut. Namun, saya sudah menyimpan niat bahwa setelah saya pulang, saya memang ingin sekali berbagi tentang status visa ziarah ini. Saya belum berani bercerita karena saya dan suami belum menjalani proses keseluruhannya.
Alhamdulillah … saya dan suami sekarang sudah kembali ke tanah air dan telah menunaikan semua rukun haji selama di tanah suci. Semoga Allah SWT melimpahkan kemabruran pada status haji kami. Aamiin Ya Rabb.
            Lalu, inilah saatnya. Saya sempat berpikir berulang-ulang, apakah ini pantas saya sharing atau saya simpan saja sebagai catatan hati. Sempat galau. Namun, masukan dari teman-teman terhadap postingan saya di facebook, akhirnya menguatkan niat saya untuk berbagi cerita ini.
Kembali ke proses keberangkatan kami. Tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu sejak visa keluar. Dengan dilepas oleh kedua orangtua saya, kedua anak kami, dan asisten rumah tangga kami serta suami dan anak-anaknya, Senin, 29 Agustus 2016, pukul 22.30 WIB, mobil carteran yang membawa kami pun bergerak menuju bandara Internasional Soekarno Hatta.

Menunggu keberangkatan di bandara Soeta
Tiba di bandara, kami langsung bergabung dengan para calon jema’ah haji dari beragam domisili. Ada yang dari Kalimantan Timur, Makassar, Jambi, Karawang, dan Jakarta. Jumlah kami 43 orang. Menurut informasi travel yang bertanggung jawab memberangkatkan, rute penerbangan yang akan kami tempuh adalah Jakarta - Kuala Lumpur – Filipina – Riyadh – Jeddah – Mekkah.
Awalnya, saat mendengar kata Filipina, kecemasan saya dan suami kembali mencuat. Mengingat berita yang sedang hangat tentang calon-calon jema’ah haji asal Indonesia yang batal diberangkatkan dari Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino, Manila, Filipina itu, saya pun langsung mencari kepastian jaminan dari pihak travel. Namun, pihak travel memberi jawaban yang cukup meyakinkan bahwa paspor yang kami gunakan berbeda dengan paspor calon jema’ah haji yang batal berhaji di Filipina. Mereka menggunakan paspor ganda (paspor Filipina).  Kecemasan saya kembali menguap.
Pesawat Malaysia Airlines yang akan kami naiki berangkat jam lima pagi. Inilah awal munculnya kembali kecemasan saya. Ketika penantian menunggu keberangkatan tiba pada ujungnya, saya melihat sesuatu yang janggal. Semua calon jema’ah sudah menerima paspor dan tiket untuk melewati jalur imigrasi menuju boarding. Sementara saya dan pasangan suami istri (sahabat kami tadi) masih menunggu di pintu masuk resmi.
Ada apakah?
Tim travel dan sahabat saya yang sebenarnya sudah mengetahui kendala apa yang sedang terjadi sehingga kami masih tertahan di luar, seolah sengaja menyembunyikan sesuatu. Saya tidak bisa menyembunyikan kecemasan dan kecurigaan yang mendesak-desak di dada. Untunglah suami saya tidak terpengaruh dengan situasi yang membuat saya tegang itu. Itu semata-mata karena ia memang tidak paham apa yang sedang terjadi.
Sambil menekan kecemasan, saya berusaha untuk terus berdoa agar awal keberangkatan dari tanah air ini diberi kelancaran oleh Allah SWT. Saya terus berdoa di sela-sela rasa cemas yang kian memuncak. Akhirnya, Allah menjawab doa saya. Paspor dan tiket kami pun keluar dan diserahkan ke saya dan suami. Namun, tanda tanya besar yang tadi sempat menggumpal di benak saya masih belum terjawab. Mengapa kami tertunda sekian lama di luar sementara calon jema’ah lainnya sudah duduk manis di pesawat? Dan, mengapa pasangan suami istri (sahabat kami) juga ikut menunggu di luar?
Begitu duduk di peswat, istri teman suami saya pun meminta saya melihat paspor kami. Terjawablah semuanya. Masa berlaku paspor saya dan suami ternyata hanya tinggal lima bulan lebih beberapa hari lagi. Sementara syaratnya minimal enam bulan. Ya Allah, mengapa ini bisa terjadi pada saya dan suami yang selama ini sangat teliti untuk hal-hal terkait dengan perjalanan ke luar negeri? Ternyata, kesalahan ada di pihak travel. Dan, inilah salah satu kendala awal saat memilih visa ziarah. Alhamdulillah, Allah masih menolong kami.
Saya tiba-tiba ingat kalau sekitar bulan Januari – Februari, saya sempat meminta paspor saya dan suami untuk dicek lagi. Namun pihak travel mengatakan tidak perlu karena tidak ada masalah. Jadi, kesalahan mutlak ada di pihak mereka sehingga merekalah yang bertanggung jawab penuh. Setelah itu, saya bolak-balik mengucap syukur pada kasih sayang Allah SWT. Tidak bisa saya bayangkan kalau kami tidak bisa berangkat dan harus kembali ke rumah saat itu. Apa kata suami saya ketika itu? “Berprasangka baiklah kepada Allah, maka Dia akan menolongmu sesulit apa pun situasimu.” Saya berjanji akan terus mengingat kata-katanya ini.
Catatan perjalanan haji dengan visa ziarah ini masih panjang. Insya Allah, saya akan melanjutkannya. Mohon maaf jika catatan pengalaman berhaji ini akan terbagi pada beberapa postingan. Semoga bermanfaat. Salam…. [Wylvera W.]


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...