Senin, 10 Juni 2019

838 Kilometer Menuju Nelson – Whanganui


         Kami tinggalkan kota Christchurch dengan perasaan yang masih menyisakan perih mengingat tragedi penembakan itu. Sementara kami harus menyiapkan stamina kembali untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Saya dan suami harus siap bergantian menyetir dalam perhitungan waktu 5 jam 19 menit menuju Nelson. Kali ini giliran saya yang menyetir. Ashiaaap!

Sopir AKAP ambil alih. Hahaha
Tujuan kami sebenarnya bukan kota Nelson melainkan Auckland. Namun karena jarak tempuh yang lebih dari 1000 kilometer, suami terpaksa memecahnya menjadi 2 persinggahan, Nelson dan Whanganui. Sementara itu, jarak tempuh yang harus kami lalui menuju Nelson mencapai 415 kilometer. Dalam perkiraan waktu, kami akan tiba di Nelson pada malam hari. 

Tinggal tekan pedal gas ... cuuuzzz! 
Bu Sopir rehat sejenak :p
Tidak ada waktu luang yang bisa membuat kami menyinggahi tempat-tempat tertentu di antara jarak tempuh Christchurch dan Nelson. Hanya memuaskan hati menikmati panorama alam Selandia Baru yang bersih, tenang, dan nyaman. Sesekali kami ge-er kalau jalanan mulus yang kami lewati serasa milik berdua saja. Saking sedikitnya kendaraan yang melintas.

Sesama sopir harus mesra. Hahaha
Sopir merangkap model. Hihihi
            Mengingat New Zealand dijuluki sebagai negeri kiwi, saya dan suami semakin penasaran ingin melihat letak kebun kiwi itu. Sejauh mata memandang dari balik kaca jendela mobil, kami tidak melihatnya. Yang ada hanya pohon-pohon anggur serta domba-domba dan sapi-sapi yang bebas dilepas di padang rumput dengan pembatas pagar setinggi pinggang orang dewasa. Mungkin karena kami tidak mampir di sudut-sudut kota dan desanya kali ya. Jadi enggak menemukannya.

Gak pernah bosan menyetir di jalanan seperti ini

            Saya ingin sekali mendekati domba-domba yang lucu itu dan berfoto. Sementara suami selalu mengingatkan saya pada durasi dan jarak yang masih harus kami tempuh. Saya harus mengalah untuk mengambil kesempatan itu di rute lainnya. Kami hanya menyempatkan diri menepi sejenak untuk memberikan jejak bahwa kami telah melewat jalan itu. Selebihnya kami hanya singgah untuk menambah bahan bakar dan camilan pengisi perut.

Kamarnya selalu bersih
Akhirnya kami tiba di Century Park Motor Lodge, 197 Rutherford Street, Nelson City Center, Nelson 7010, New Zealand. Waktu sudah lumayan larut. Untung saja stok makanan yang kami beli di perjalanan masih memadai. Setelah bersih-bersih badan dan menyantap makan malam yang ala kadarnya, saya dan suami terlelap hingga menjelang subuh.

Kelokan mendebarkan hingga udara laut yang menenangkan
            Demi mengejar jadwal keberangkatan kapal feri dari terminal di Picton, kami harus pagi-pagi sekali meninggalkan Century Park Motor Lodge di Nelson. Suami lupa mengatakannya ke petugas penginapan tersebut. Setelah ditelepon berulang-ulang tidak ada yang menyahuti, kami terpaksa meninggalkan kunci motel di gagang pintu kamar. Hingga hari ini ternyata tidak bermasalah. Namun jika tidak terdesak, jangan ditiru ya cara seperti ini. Hehehe .... .


Menitipkan kunci 
            Perjalanan di hari yang masih gelap pun dimulai. Awalnya masih tenang dan lurus-lurus saja. Tidak sampai lima belas menit, kami mulai dikejutkan oleh jalur yang harus kami tempuh di kegelapan itu. Sekitar 150 Kilometer jarak tempuh yang kami lalui membuat detak jantung lebih cepat dua kali. Pengalaman pertama ini membuat kami benar-benar merasa seperti turis yang sedang diplonco di negeri orang. Ya Rabb … kami tidak bisa mundur lagi. Tidak ada jalur alternatif. Sementara tiket feri sudah dipesan dan harganya lumayan mahal.


Awalnya masih tenang
Kelokan pun dimulai
            Jalan berkelok tajam, menanjak dan menurun dengan berharap pada penerangan lampu mobil sendiri itu sangat membuat kami berdua menahan napas. Saya sebagai navigator suami, tetap berusaha mengatur ritme jantung dan tak lepas dari zikir panjang agar Allah selalu melindungi perjalanan kami. Sesekali kami berpapasan dengan truk yang membawa kontainer besar. Atau sesekali kami harus mengalah untuk membiarkan kenderaan besar itu mendahului kami. 
       Saya teringat pengalaman yang mirip saat kami terjebak di badai salju ketika menuju Washington DC. Bedanya saat itu musim salju dan masih ada kendaraan yang sedikit membuat kami tenang. 

Kelokannya tajam dan pendek-pendekk :'(
            Kembali ke jalan berkelok-kelok yang belum berakhir. Minim komunikasi di dalam mobil. Konsentrasi suami saya penuh pada arah jalan. Hanya suara kecemasan saya kerap mengingatkan suami untuk berhati-hati ketika tikungan tajam di jalan yang hanya cukup untuk dua kendaraan. Belum lagi satu dua bangkai hewan yang masih tergeletak di tengah jalan yang harus kami hindari. Sementara kami tidak tahu seperti apa tepian jalan yang kami lalui. Jurangkah atau lembah-lembah tempat binatang buas hidup bebas. Saya membayangkan kelok 9 yang ada di Sumatera Barat. Apakah kelokan itu lebih tajam dan lebih panjang serta mendebarkan? Entahlah, saya belum pernah melewati kelok 9 itu. Dan kami harus menuntaskan rute ini di saat hari masih gelap.

Di sebelah kanan itu curam banget
            Alhamdulillah, spot jantung itu akhirnya usai juga. Kami tiba di terminal feri tepat waktu. Perut saya terasa agak mual ditambah kepala yang sedikit pusing. Mungkin itu dobel efek. Satu karena belum sempat sarapan dengan sempurna saat berangkat tadi, kedua pengaruh kecemasan di sepanjang jalan yang mendebarkan.
Ngisi amunisi dulu di feri sebelum melanjutkan perjalanan darat
Selfie lagi
            Mobil kami sudah berada di dalam kapal feri. Muatan feri lebih ramai dari feri pertama yang pernah kami naiki. Kami turun dari mobil dan memilih mengambil tempat di dekat restorannya. Menyambung sarapan yang belum sempurna saat berangkat adalah pilihan tepat. Kami menikimati makanan yang lebih tepat disebut brunch (breakfast and lunch) itu karena waktunya di antara jam sarapan dan makan siang. Hehehe ….
           Penumpang didominasi oleh mereka yang berusia 50 - 80an tahun. Mungkin saat itu adalah waktu liburannya penduduk usia lanjut. Senyum ramah kembali saya lihat saat berpapasan dengan mereka. Ciri khas orang Selandia Baru yang sudah saya buktikan sendiri sejak menjejakkan kaki di ibukota negara ini.

Mumpung dermaganya masih jauh :)

Puasin selfie. Hahaha
            Karena waktu tiba di dermaga masih lama, saya mengajak suami melihat-lihat laut dari dek feri. Suami saya menolak karena ia kurang nyaman dengan angin laut. Saya keluar sebentar sambil mengambil beberapa foto. Suami saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan laut. Saya sebaliknya. Walaupun tidak begitu jago berenang, saya sangat suka dengan hal-hal yang berhubungan dengan air, termasuk laut. Kontras ya? Hehehe ….


Sedikit maksa suami berfoto sesaat sebelum turun. Hahaha
            Penyeberangan yang menghabiskan waktu sekitar tiga jam itu akhirnya berakhir juga. Kami kembali mengikuti antrian kendaraan untuk keluar dari feri. Setelah keluar dari feri, tujuan utama kami adalah menuju penginapan. Tidak bisa berpura-pura tidak capek, stamina kami memang sudah mulai menurun. Setelah suami menyetir sekian kilometer, saya kembali mengambil alih.

Nyetirnya jadi ketagihan
            Untunglah, jarak penginapan dengan dermaga feri tidak terlalu jauh. Akhirnya kami sampai juga di Aotea Motor Lodge. Masya Allah, saya tidak menduga kalau kamar yang dipesan suami saya ini sangat bagus. Atau mungkin umumnya penginapan di kota yang penuh dengan ketenangan ini  selalu menyajikan pelayanan kamar yang nyaman? Ah, entahlah. Yang pasti, kejutan-kejutan kecil dari suami selama perjalanan di New Zealand ini sungguh menyenangkan bagi saya. 
Kamar itu dilengkapi dengan jacuzzi dalam ukuran kecil. Jacuzzi ini adalah tempat pemandian seperti kolam dengan pancaran air hangat di bagian bawahnya untuk merelaksasi otot yang kaku serta meningkatkan denyut jantung sehingga aliran darah menjadi lancar.


Jacuzzi yang dianggurin :'(
            Saya sudah berangan-angan untuk mencoba fasilitas jacuzzi itu. Namun persediaan makanan kami sudah habis. Tidak bisa berlama-lama istirahat di kamar yang nyaman itu. Kami harus keluar lagi mencari camilan dan mengisi bahan bakar mobil. Saat kembali ke penginapan, hari sudah malam dan kelelahan membuat rencana berantakan karena tertidur hingga menjelang Subuh. Bye jacuzzi …!
            Sampai di sini dulu ya. Cerita perjalanan berikutnya akan saya lanjutkan di postingan setelah ini. Tetaplah sabar menunggu.


Note:
Cerita sebelumnya bisa cek di:
1.di sini
2. di sini

6 komentar:

  1. Sepertinya seru sekali travelingnya. Layak di coba...

    BalasHapus
  2. Dibalik perjalanan yang seru dan bekesan, sisi romatisnya kental benar...
    Semoga biberi kesempatan traveling seru kayak Mbak Wiek

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha ... iya, Mas Kay. Aku itu kalau bikin catatan perjalanan bareng suami ya seperti ini lah. Versiku banget ya. :)
      Btw, aamiin ... semoga Mas Kay dan keluarga diberi kesempatan travelin bareng ya. :)

      Hapus
  3. Seru banget sih perjalanannya mbak wik, nyetir sendiri dan atur sendiri tripnya jadih lebih santai yaa nggak terburu-buru jadwalnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Dew.
      Suamiku belum pernah traveling bareng travel. Nggak leluasa katanya. Tapi ya begini lah, semua kita list sendiri jadwalnya sesuai keinginan kita. Hehehe ....

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...