Kamis, 23 Maret 2017

Welcome to The Eternal City






            Kecemasan menunggu keluarnya visa membuat saya tak berani banyak berencana  tentang perjalanan menuju Roma. Lazimnya, permohonan visa itu akan disetujui setelah diproses minimal lima hari kerja (kecuali visa dengan menggunakan paspor dinas). Sementara saya mengajukannya kurang dari lima hari. Qadarullah, ternyata visa yang saya tunggu akhirnya disetujui di hari yang sama dengan jadwal keberangkatan saya dan suami. Bisa jadi karena pengajuan tersebut didampingi oleh paspor biru milik suami. Alhamdulillah, terbantu.  
            Malam, 14 Maret 2017, saya dan suami akhirnya menuju bandara Soekarno Hatta. Sementara pesawat Emirates yang akan membawa kami terbang, berangkatnya pada pukul 24.15 WIB (sudah masuk hari berikutnya), Rabu, 15 Maret 2017. Waktu tunggu di bandara cukup lama. Kami melewatinya sambil melepas penat (efek degdegan menunggu visa seharian masih tersisa) di sebuah lounge bandara Soeta. Diam-diam saya terus berucap syukur. Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang kamu dustakan?
Allah SWT kembali memberi kesempatan kepada saya untuk melihat bumi-Nya di sebuah kota yang dikenal dengan sebutan “The Eternal City” (kota yang kekal/abadi). Terinspirasi dari sebuah novel karya novelis Inggris, Hall Caine, dalam novelnya berjudul “The Eternal City” – 1991, sebutan itu hingga kini seolah dikukuhkan sebagai julukan untuk kota Roma. Sebutan abadi untuk Roma dan ditambah kisah mitologi Romawi kuno tentang Romulus dan Remus sebagai pendiri kota tersebut, membuat rasa penasaran saya membumbung tinggi ingin segera melihatnya dari dekat.

Menunggu boarding di Dubai *abaikan mata kami yang sembab itu* ;)
Perjalanan panjang yang menghabiskan durasi sekitar delapan jam dari bandara Soeta menuju Dubai International Airport untuk transit, cukup membuat energi kami sedikit terkuras. Kurang tidur, pasti. Namun kami harus menunggu penerbangan selanjutnya selama kurang lebih tiga jam. Kami harus sabar menempuh pernerbangan berikutnya selama lima jam untuk tiba di Roma.

Menapakkan kaki di Roma
            Kami tiba di Leonardo da Vinci-Fiumicino International Airport, Roma Italy. Sudah hampir jam dua belas siang. Kelelahan pun semakin terasa. Setelah cek imigrasi dan mengambil koper, suami memutuskan untuk membeli nomor baru agar hape kami tetap bisa mengakses informasi dan terhubung dengan leluasa ke Indonesia. Semua diselesaikan terlebih dahulu di area bandara sebelum memulai perjalanan menelusuri kota Roma. 


Setelah semua beres, kami pun bergegas membeli tiket kereta. Kereta yang akan membawa kami dari Fiumicino Airport ke Termini Station adalah The Leonardo Express. Harganya 14€ per tiket dengan durasi tempuh selama 35 menit. Lumayan mahal kalau dirupiahkan karena ada yang lebih murah sebenarnya, hanya sampainya pun lebih lama.
            Kami sampai di stasiun Termini. Di Termini tidak hanya ada stasiun kereta (Metro), tapi juga terminal bus. Dari sini, kita tinggal memilih nomor bus dengan beragam jurusan di kota Roma. Seperti pengalaman kami sebelumnya saat melakukan perjalanan ke beberapa negara, suami lebih suka membeli tiket terusan untuk memudahkan kami naik kendaraan umum selama di kota tersebut. Pilihannya tentu disesuaikan dengan keinginan kita. Kami memilih paket seminggu. Tiketnya bisa kami gunakan untuk naik kereta, bus, dan tram yang semuanya berlaku untuk jurusan dalam kota Roma.


Sudah hampir jam tiga sore saat kami tiba di Termini. Tentu saja perut pun mulai keroncongan. Sebelum berangkat ke Roma, saya sudah memberi kabar kepada teman yang memang orang asli Roma. Stefano Romano, fotografer asal Roma yang sudah bolak-balik ke Indonesia bersama istrinya (yang asli Indonesia), menjadi guide untuk beberapa informasi yang kami butuhkan. Stefano juga yang memberitahu saya kalau ingin mencari restoran halal, yang terbanyak adalah di sekitar stasiun Termini. Kami akhirnya memutuskan untuk membeli kebab dan membawanya ke hotel.


Selama suami mengikuti conference (dua hari), kami menginap di Hotel Albani. Kata suami, lokasinya dekat dengan tempat konferensinya. Bisa berjalan kaki. Ada beberapa bus yang melewati jalan terdekat dengan Hotel Albani. Bisa naik yang nomor 92, 360 atau 223. Tapi yang paling mudah ternyata naik bus nomor 92. Tempat pemberhentian pergi dan pulang dari terminalnya tidak terlalu jauh.

Ketiduran efek jetlag
            Tiba di hotel, rasanya ingin melompat ke tempat tidur yang empuk. Namun mengingat belum mandi selama dua hari perjalanan, enggak tega juga berbaring cantik. Saya memilih mandi dan menyegarkan badan. Setelah itu niatnya pengin tidur-tiduran dan habis sholat Magrib mau kembali ke lokasi terminal Termini untuk mencari makanan. Apa yang terjadi saudara-suadara? Saya dan suami sukses ketiduran. Saat terbangun, ternyata sudah jam setengah dua belas malam.
            Saya ingat kalau belum menyentuh kebab yang kami beli sorenya. Kita membeli dua kebab panini. Yang satu sudah kami habiskan. Sisa satu. Setelah menjamak sholat Isya dan Magrib, kami pun menghabiskan kebab yang ada. Ah, lumayan buat mengganjal perut berdua. Selesai makan, suami saya melanjutkan tidur kembali.
Karena sudah terlanjur terbangun di jam yang tidak lazim, saya mencoba menyalakan tivi. Ya ampuuun, hampir semua film dialihbahasakan ke bahasa Italy. Tidak ada teks terjemahannya. Saya ngikik di tengah malam karena tidak mengerti arti dialog dalam film yang saya tonton. Entah jam berapa tepatnya, saya ikutan pulas sampai menjelang Subuh.

Suasana alam selepas Subuh yang saya nikmati dari jendela kamar hotel
            Selepas sholat Subuh, saya membuka kaca jendela yang menghadap ke arah taman yang mirip hutan kecil. Udara jelang musim semi yang masih dingin langsung menyergap wajah saya. Segar sekali rasanya. Melihat matahari yang malu-malu mengintip, saya buru-buru mengambil hape dan mengabadikan pemandangan cantik itu. Damai sekali. Sejenak saya lupa dengan rutinitas dan segala permasalahan di tanah air. Saya benar-benar menikmati waktu rehat ini.

Sarapan pagi pertama di Hotel Albani
            Melihat tingkah saya yang sibuk sendiri di jendela, suami terpancing. Dia juga tak mau kalah merekam suasana alam pagi di Roma dari balik jendela kamar hotel tempat kami menginap. Pagi yang indah telah mengawali hari kami di Roma. Buat saya itu cukup romantis. Entah bagi pembaca. *senyum malu-malu*

Lima jam bersama Stefano Romano
            Hari kedua di Roma, suami saya memulai jadwal konferensinya. Saya akan ditinggal sendiri. Bukan saya namanya kalau pasrah dan diam menunggu di kamar hotel saat traveling begini. Saya mencoba menghubungi Stefano Romano. Berharap dia dan istrinya bisa menemani saya untuk hari itu. Alhamdulillah, dia menyanggupi dan saya mendapat izin dari suami. Tapi karena Bayu (istri beliau) hari itu bekerja, hanya Stefano yang menjadi tour guide saya.

Wefie tanpa tongsis :p
            Setelah Stefano kembali ke Roma - sekitar akhir September 2016 lalu – ini adalah pertemuan kami yang kedua. Stefano adalah fotografer yang memotret saya untuk kelengkapan profil saya yang dimuat di majalah NooR waktu itu. Itulah awal perkenalan kami. Namun, tidak merasa ingin bertemu dengan seorang fotografer, saya justru seolah sedang menunggu teman lama saja. Stefano berjanji akan menjemput saya di hotel tepat pukul 10.30 waktu Roma. Lima menit sebelum dia tiba, saya sudah menunggu di lobi hotel.
            Kami tidak berlama-lama mengawali pertemuan itu. Stefano langsung mengajak saya jalan menuju halte pemberhentian bus yang menuju ke Termini Station. Di bus, kami sempat ngobrol dan mengingat-ingat kegiatan yang pernah melibatkan kebersamaan di Bekasi. Dalam obrolan itu, Stefano sempat mengatakan kalau dia sudah rindu sama Jakarta, Bandung apalagi. Dia ingin kembali ke Indonesia, tempat yang paling dicintainya untuk mengeksplor kepiawaiannya di bidang fotografi. Semoga ya, Stef … mimpimu jadi kenyataan. Aamiin.

Colosseum dan Arch of Titus
            Dari Termini, Stefano mengajak saya melihat Colosseum, tempat pertunjukan besar berbentuk elips. Dari artikel-artikel yang sempat saya baca, Colosseum merupakan tempat yang tidak penah dilewatkan para wisatawan saat berkunjung ke Roma. Lokasinya berada di tengah-tengah pusat kota Roma, tepatnya di sisi Timur Roman Forum. Bangunan ini didirikan oleh Vespasian pada masa Domitianus dan diselesaikan oleh anaknya, Titus.

Ramainya wisatawan bikin saya bingung mengambil gambar ;)
Colosseum atau Colosseo merupakan sisa reruntuhan dari amfiteater (nama aslinya Flavian Amphitheatre). Waktu itu digunakan untuk arena gladiator tempat pertarungan antara binatang dan manusia dipertontonkan serta berfungsi sebagai tempat eksekusi para tahanan. Nama Colosseum berasal dari sebuah patung yang memiliki nama Colossus, pengganti raja yang ada di Romawi pada masa itu. Menjadi salah satu karya terbesar dari arsitektur kerajaan Romawi yang dirancang untuk menampung 50 ribu orang penonton.
Ramai sekali wisatawan di sekitar Colosseum. Stefano berulang-ulang mengingatkan saya agar berhati-hati dengan para copet. Saya sudah mendengar cerita buruk itu dari suami. Sebelumnya suami saya juga mengingatkan agar selalu siaga dengan tas yang dibawa. Ah, ternyata copet pun jadi momok yang diwaspadai di Roma. 

Arch of Titus ini yang pertama kali dibuat, yang lainnya mengikuti
Saya mengalihkan perhatian ke bangunan mirip tugu berbentuk huruf “U” terbalik. Bangunan itu bernama Arch of Titus yang menjadi inspirasi (baca-ditiru) oleh Arch de Triomphe karya Napoleon yang ada di Paris. Saya sudah pernah melihat Arch de Triomphe di Paris, jadi tahu bedanya. Arch of Titus lebih sederhana dibanding Arch de Triomphe yang megah dan mewah di Paris. 

Pengambilan foto dari spot yang pas
            Saat ingin menuju spot yang menurut Stefano sering dipakai oleh crew dari Trans TV untuk mengambil gambar Colosseum, saya sempat tertawa. Di sekitar bangunan bersejarah itu, ternyata ramai pedagang musiman yang menjajakan tongsis (tongkat narsis). Saya pun termasuk turis yang menjadi sasaran dagangan mereka. Tapi saya enggak membeli lho. Sesaat setelah itu, mereka lari pontang-panting ketika polisi berpatroli. Ternyata mereka tak diizinkan berdagang tongsis secara bebas di lokasi wisata sejarah itu. Kejadian serupa sering terjadi juga ‘kan di tanah air? *senyum sendiri*

Fora Romano tinggal reruntuhan
            Roman Forum atau dalam bahasa Italianya, Fora Romano, merupakan alun-alun yang dikelilingi oleh reruntuhan bangunan penting bekas pemerintahan Romawi kuno. Sejarah Roman Forum diawali oleh kisah Romulus yang menguasai Palatine Hill dan Titus Tatius yang menguasai Capitoline Hill. Ketika permusuhan keduanya terhenti, mereka membuat kesepakatan untuk membentuk aliansi dan persekutuan.

Roman Forum (doc. pribadi)

            Di antara kedua bukit tersebut terdapat lembah yang disebut sebagai Roman Forum. Di lembah itulah terjadinya gencatan senjata antara Romulus dan Titus. Kini, Roman Forum hanya menyisakan sisa reruntuhan. Yang masih utuh hanya Temple of Saturn. Reruntuhan itu pula yang menjadi objek perhatian para wisatawan, termasuk saya. Namun saya tidak masuk karena menikmatinya dari luar saja sudah cukup menyenangkan.

The Altare della Patria (Victorio Emanuele II Monument)
            Menurut sejarahnya, pembangunan monumen bersejarah ini merupakan ide dari Victor Emmanuel, seorang raja Italia. Bangunan megah ini sudah berdiri sejak tahun 1880 dalam rangka penyatuan Italia. Bangunannya terlihat megah dan kontras dengan yang ada di sekitarnya. Monumen ini ternyata dibangun dengan menggunakan marmer putih, dilengkapi dengan patung besar dan relief hiasan dinding.

Menemani yang di belakang itu :p
The Altare della Patria
            Tidak perlu biaya untuk masuk dan mengelilingi bangunan ini. Hanya butuh antri sebentar jika wisawatan ramai berkunjung. Yang bikin menarik hati saya justru dua penjaga yang berdiri tegap di atas pelataran setelah anak tangga masuk. Mereka seperti menjaga api yang katanya tak boleh padam di sisi kiri dan kanannya. Mirip penjaga istana di Buckhingham Palace. Tidak boleh beranjak sebelum waktu jaganya berakhir.

Via del Corso
            Puas berfoto di Altare della Patria, Stefano kembali mengajak saya berjalan kaki. Kami menyusuri Via del Corso yang menghubungkan Piazza Venezia dan Piazza del Populo. Di sepanjang jalan ini berderet-deret toko busana, parfum, tas, dan sepatu karya para perancang ternama, seperti Gucci, Armani, dan Dior yang menjadi pilihan wisatawan berduit. 

Jalan-jalan yang kami lewati
Saya sekadar “cuci mata” dan malah menikmati pedagang kaki lima yang menjajakan cinderamata di pinggir jalan. Kebiasaan belanja ini pun jadi topik ringan kami sambil menyusuri gang-gang klasik menuju tempat lainnya. Dan, saya bukan tipe traveler yang fokus pada belanja barang branded saat di luar negeri. Saya lebih suka menghabiskan waktu untuk wisata sejarah dan kulinernya.

Suara azan di Pantheon
            Kami terus melangkah hingga tiba di depan bangunan yang merupakan kuil di zaman kekaisaran Romawi. Sekarang, kuil tersebut berubah fungsi sebagai gereja Katolik Roma. Yang menarik, bangunan ini terlihat sangat terawat hingga sekarang. Saya menghitung-hitung lamanya bangunan ini berdiri.


Bagian dalam Pantheon
Lingkaran yang senagaja dibuka di bagian atapnya
            Desain bangunan berbentuk melingkar dengan atap segi tiga dan tiang-tiang tinggi pada bagian terasnya. Awalnya saya enggan untuk memasuki bangunan itu. Apalagi, tak satu pun perempuan berjilbab yang ada di sekitarnya. Namun, niat ingin menelusuri sejarah bangunan itulah yang menggerakkan kaki saya. Ditambah, lubang di bagian tengah atap justru memancing saya untuk melangkah lebih masuk. 

Seajarah berdirinya Pantheon
Tiba-tiba suara azan mengejutkan saya dan Stefano. Tentu saja beberapa pasang mata tertuju ke arah kami. Sumber suara jelas dari arah saya. Stef setengah berbisik mengingatkan bahwa suara itu mungkin dari hape saya. Saya sedikit gugup mengeluarkan hape yang baru saja saya simpan di kantung tas. Benar saja, suara panggilan azan itu ternyata dari hape saya. Spontan saya dan Stefano panik karena sempat bikin kaget orang-orang di dekat kami. “Di dalam gereja kok ada suara azan?” Mungkin itu yang terpikir sekilas di kepala mereka.
Stef buru-buru mengajak saya keluar. Semoga tidak dianggap sengaja dan tak menghormati. Siapa menduga kalau ternyata malam sebelumnya, suami saya mengaktifkan kembali suara azan itu untuk menandai waktu sholat selama di Roma. 


Fontana di Trevi, aksi lempar koin yang sudah memudar
            Selanjutnya kami masih berjalan kaki menuju air mancur Fontana di Trevi. Air mancur dengan patung besar ini dibangun oleh Nicolo Salvi pada pertengahan abad XVIII. Konon, air mengalir itu dikumpulkan oleh para perawan di desa untuk mandi Dewi Agrippa. Karena itulah Fontana di Trevi disebut sebagai Acqua Verdine atau air perawan.


Fontana di Trevi yang tak pernah sepi oleh pengunjung


Dulu, para wisatawan masih bebas melemparkan koin yang dipercaya sebagai harapan suatu saat dapat kembali ke Roma. Koin atau uang logam yang terkumpul di dasar kolam diambil dan disumbangkan ke Palang Merah setempat. Namun sekarang tradisi lempar koin di Fontana di Trevi mulai memudar karena koin-koin itu ternyata sempat merusak bangunan dasar kolam. Eh, tapi tetap ada saja yang diam-diam melemparkan koinnya. Saya memilih tidak melakukan itu.

Mengambil foto cantik dari sisi Barat Villa Borghese Garden
            Perjalanan kami belum selesai. Setelah menikmati makan siang di dekat stasiun Flaminio, kami melanjutkan langkah kaki menuju Villa Borghese. Letaknya ada di atas. Melihat anak tangga yang berundak-undak sebanyak itu, nyali saya mulai menciut. Berjam-jam berjalan kaki, membuat stamina saya mulai menurun. 



Peta Villa Borghese Garden yang luas
            Tantangan Stefano saya tolak mentah-mentah. Saya sudah tidak setangguh dulu lagi (hahaha … mulai lebay). Daripada saya memaksakan diri dan setelahnya K.O, lebih baik memilih alternatif lain. Yang penting tetap bisa sampai di atas.


Spot cantik bernama Pincio
            Akhirnya kami melewati jalanan biasa namun tetap menanjak. Lumayanlah dibanding harus menaiki tangga. Tiba di atas, lelah saya terobati. Spot cantik dari Pincian Hill atau Pincio membuat mata puas menatap ke bawah. Di bawah sana terlihat Piazza del Popolo. Saya menyapu pandangan ke segala arah dan bagian kota Roma.


Berlagak jadi peraga busana di Spanish Step
            Di sisa-sisa tenaga, kami sampai juga di Spanish Step. Sebuah tangga lebar yang menghubungkan Piazza di Spagna (Spanish Square) di bagian bawah dan Piazza dei Monti di depan gereja Trinita dei Monti di bagian atas.


Bukan ini lho peragawatinya :p
Susah mau milih duduk di mana
            Saat menuruni tangga, Stefano mengatakan bahwa tangga ini pernah dipakai oleh para peragawati untuk pameran penutupan pekan mode tahunan. Saya spontan sok merasa seperti peragawati yang gagal diet. *dilarang ngikik berjema’ah ya*       
              Setelah sampai di bawah, masih ada air mancur lagi. Saya berpikir bahwa orang Roma sangat suka dengan air mancur. Air mancur (Fontana della Barcaccia) di area Spanish Step ini adalah karya Bernini. Karena ada pemugaran, hasil foto yang saya ambil pun terasa kurang maksimal. 
 

Fontana della Barcaccia (doc. pribadi)
            Spanish Step dan sekitarnya menjadi akhir destinasi yang ditawarkan Stefano kepada saya. Setelah lima jam didampingi “tour guide” yang sabar, akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk kembali ke hotel. Tapi, jangan lupa untuk kembali lagi ke blog saya ini ya. Masih ada lanjutan catatan jalan-jalan saya di Roma untuk hari berikutnya. Sampai jumpa. Salam. [Wylvera W.]

To be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...