Senin, 06 Maret 2017

Liburan Singkat di Bangka Belitung



Galeri foto

            Disibukkan oleh rutinitas sehari-hari, membuat saya ingin melakukan refreshing. Ternyata, keinginan yang sama pun dirasakan oleh kedua teman saya (kakak kelas semasa SMA-red). Alhamdulillah, akhirnya kami bisa mewujudkan keinginan itu pada bulan Februari 2017 yang lalu. Tidak banyak persiapan yang kami lakukan, hanya membuat kesepakatan untuk mengatur pendanaan akomodasi menuju destinasi yang sudah kami pilih.
            Pagi itu, Sabtu, 18 Februari 2017, kami berkumpul di bandara Soekarno Hatta sebelum bersama-sama melakukan check in. Kami telah sepakat untuk menghabiskan liburan tiga hari di Pulau Bangka Belitung. Tujuan pertama adalah Belitung.

Belitung di liburan hari pertama
            Sesuai jadwal penerbangan, kami bertiga akhirnya terbang menuju “Negeri Laskar Pelangi”. Penerbangan singkat dari Jakarta membawa kami mendarat di Bandar Udara Internasional H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Kami bertiga sama-sama baru pertama kali berkunjung ke Belitung. Jadi, begitu menuruni tangga pesawat, ekspresinya beda-beda tipis. Yang pasti, kami tak mau melewatkan kesempatan berfoto dengan memakai jasa petugas bandara. 


Klik!
Satu jepretan cantik pun mengabadikan ketiga sosok kami dalam balutan dress code berwarna merah. *jangan ditiru yaaa … hehe*

Menikmati Mi Belitung yang maknyus
            Di bandara, kami langsung mendapatkan kendaraan dengan sopir yang sekaligus menjadi pemandu perjalanan kami selama di Belitung. Kami memutuskan untuk tidak check in ke hotel terlebih dadulu. Takut waktunya terbuang sayang. 



Liburan pun diawali dengan wisata kuliner. Mas Sopir membawa kami ke sebuah restoran bernama Hanggar 21. Lokasinya tidak terlalu jauh dari bandara. Restoran  berkonsep kafetaria ini menyediakan ragam menu yang beberapa diantaranya menjadi ciri khas Belitung. Seperti kopi Kong Djie, Mi Belitung, pempek, serta beberapa minuman sebagai pelengkapnya. 

Mi Belitung dan Jeruk kunci

Pilihan kami ternyata sama. Mi Belitung dan segelas jeruk kunci yang katanya menjadi salah satu menu andalan resto tersebut, jadi permulaan yang menyegarkan. Kuah kari udangnya yang gurih dan kental, dicampur mi yang kenyal dan tauge, irisan tahun goreng, sedikit mirip dengan mi kuah khas Medan. Hanya ada rasa bumbu yang membuatnya berbeda dan khas. Memang endeees  rasanya. Berikut minuman jeruk kunci yang segar, melengkapi waktu sarapan kami.

Rumah Keong di Dermaga Kirana
            Setelah puas menikmati menu sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata yang relatif masih baru, yaitu Rumah Keong. Letaknya ada di Belitung Timur. Rumah Keong yang terbuat dari rotan tersebut menjadi spot yang menarik. Disebut Rumah Keong karena bentuknya memang mirip keong (dalam ukuran raksasa-red).


            Rumah Keong yang dibangun di atas danau disebut sebagai kolong oleh masyarakat setempat. Kolong tersebut merupakan kolam bekas penambangan timah. Tempat wisata yang unik ini tidak kami sia-siakan. Sambil duduk-duduk menikmati pemandangan air yang jernih kami juga berkali-kali mengambil foto.


Selain Rumah Keong, ada dermaga kecil yang posisinya menghadap sungai. Kata Mas Sopir, nama sungai itu Sungai Lenggang. Sementara dermaganya bernama Kirana. Mata saya sempat terpaku pada ujung dermaga. Ada beberapa perahu yang tertambat di sana. Ternyata perahu-perahu itu boleh digunakan oleh wisatawan yang ingin menyusuri danau dengan didampingi oleh pemilik perahu. Yang membuat saya sedikit heran, tidak ada pungutan biaya bagi pengunjung yang mampir ke lokasi wisata tersebut. Hanya biaya parkir kendaraan saja yang diminta. Asyik ‘kan?

Ada Bu Muslimah di Sekolah Laskar Pelangi
            Kisah Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata menjadikan magnet bagi kota Belitung. Sekolah tempat tokoh 10 anak dari keluarga miskin di kisah itu, menjadi lokasi yang diabadikan dalam bentuk replika penuh cerita. Yang tak kalah hebat, kisah itu menjadikan Belitung diakrabi dengan sebutan “Negeri Laskar Pelangi”.


            Mas Sopir membawa kami ke sekolah replika Laskar Pelangi. Saya yang sudah lama sekali membaca kisah dan menonton filmnya, baru kali itu mendapat kesempatan melihat langsung kondisi sekolah tersebut. Walau hanya dalam bentuk replika, namun suasananya mampu membawa imajinasi saya pada kondisi yang pernah dirasakan oleh 10 anak dalam kisah Laskar Pelangi itu. Kondisi sekolah yang sarat dengan keterbatasan, memancing pikiran saya jauh melambung mencoba-coba membayangkan perasaan anak-anak tersebut. Luar biasa!

            Kami masih betah berlama-lama di area sekolah. Sampai akhirnya terbesit ide untuk duduk di dalam kelas. Saya berakting seolah-olah menjadi Bu Muslimah, guru yang penuh dengan kesederhanaan, namun sangat berkomitmen dalam mencerdaskan anak didiknya. Tiba-tiba saya merasakan betapa berat perjuangan guru yang sangat bersahaja itu. 


Laskar Pelangi sendiri adalah sebuah nama yang diberikan oleh Bu Muslimah untuk kesepuluh anak-anak muridnya. Bu Muslimah memberikan nama itu karena melihat anak-anak didiknya begitu senang pada pelangi yang selalu mereka lihat selepas hujan. Puas berakting, kami masih belum mau beranjak. Untunglah kami sadar bahwa masih banyak tempat yang ingin dikunjungi.


Sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, saya menyempatkan mampir di rumah batik. Wow! Belitung juga punya batik ternyata. Kain khas Indonesia yang selalu menjadi incaran saya setiap kali melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang di Indonesia. Ssst … saya beli juga untuk dibawa pulang. Oiya, namanya Batik Simpor.

Memandang Museum Kata dari jarak 200 meter
            Museum Kata Andrea Hirata merupakan museum literatur pertama di Indonesia. Dari catatan yang saya baca, di dalam museum tersebut kita bisa melihat koleksi tentang Laskar Pelangi. Selain itu, museum ini juga menyimpan beberapa karya Andrea Hirata. Ia membangun museum untuk menginspirasi anak-anak dan remaja di Desa Gantong agar dapat mengembangkan bakat seni mereka. 


            Awalnya saya ingin sekali masuk ke dalam museum itu, tapi waktu kami sangat terbatas. Akhirnya kami hanya sempat memotret bangunan dengan warna cat mencolok itu, dari balik kaca mobil yang berhenti sejenak di tepi jalan. Jaraknya sekitar 200 meter. Tidak puas sebenarnya, tapi cukuplah demi destinasi lain yang masih harus kami kunjungi.

Sekadar mencecahkan kaki di rumah adat Belitung
            Demi melengkapi kunjungan yang sarat dengan khas Belitung, Mas Sopir membawa kami mampir di rumah adat Belitung. Bentuknya adalah rumah panggung dengan ornamen yang terbuat dari kayu. Dibangun pada tahun 2004 di atas tanah seluas kurang lebih 500 meter persegi. Diresmikan pada tahun 2009 oleh Bupati Belitung. Rumah ini merupakan kebanggaan masyarakat Belitung. Rumah adat ini berlokasi di Kota Tanjung Pandan, persis di samping kantor Bupati Belitung.


            Kami tidak terlalu detail menelusuri bagian-bagian rumah. Yang terekam di benak saya adalah rumah adat tersebut terdiri dari tiga bagian. Ruang utama, tengah, dan dapur. Setelah menaiki tangga di bagian depan bangunan, kami masuk ke ruang utama. Ada satu lemari besi berisi baju adat pengantin Belitung. Di sisi kanan terdapat kamar pengantin berukuran kecil. Ruangan ini juga diwarnai oleh foto para tokoh Belitung yang dipajang di atas meja.

Menikmati ikan ilak di tepai Pantai Tanjung Tinggi
            Lagi-lagi kami beruntung. Mas Sopir yang menjadi pemandu wisata membawa kami ke Pantai Tanjung Tinggi. Pantai yang terkenal di Belitung itu pernah dipakai sebagai salah satu lokasi syuting film Laskar Pelangi. Letaknya di Utara Belitung, 37 kilometer dari kota Tanjung Pandan. 


            Pantainya yang berpasir putih dengan air laut yang jernih serta batu granit besar menjadi ciri khas pantai ini. Sambil menunggu hidangan makan siang, kami puaskan bermain-main di tepi pantai. Masya Allah … betapa megahnya ciptaan Allah. Saya sangat bersyukur diberi kesempatan mampir dan melihat keindahan ini dari dekat.


            Setelah menunggu, akhirnya hidangan makan siang yang sangat menggoda, menarik kami kembali duduk di meja-meja yang disediakan oleh pemilik kedai makan itu. Hidangan pilihan kami adalah ikan ilak yang dibakar. Penjualnya menyebut masakah itu sebagai pais. Bumbunya dimasukkan ke dalam ikan sebelum dibakar. 


            Selain ikan ilak masak pais, kami juga memesan gangan, sup ikan istimewa khas Belitung. Paduan rasa kunyit, asam nanas, dan pedas kuahnya yang berwarna kuning sangat segar di lidah. Kami memilih kepala ikan untuk dimasak gangan ini. Sebagai pelengkap hidangan makan siang di Pantai Tanjung Tinggi itu, kami juga memesan tumis genjer dan kangkung serta air kelapa muda. Aaah … lengkaplah sudah suasana refreshing kami siang itu. Alhamdulillah ….

Mampir sejenak ke Pantai Tanjung Kelayang
            Karena hari masih terang, Mas Sopir masih semangat mengajak kami untuk melihat keindahan Pantai Tanjung Kelayang. Pantai ini adalah pantai kedua yang terkenal setelah Pantai Tanjung Tinggi. Ada yang khas dari pantai ini yaitu Batu Kelayang, maskot dari Sail Wakatobi, Belitung 2011. 

Abaikan mata yang terpejam efek silau :p
            Pantai Tanjung Kelayang ini terdiri dari dua bagian. Di sebelah Barat dengan pemandangan gugusan batu granit, di Timur dengan sajian hamparan pasir putih yang menawan. Kami tidak berlama-lama di sini karena rasa kantuk mulai menyerang.

Danau Kaolin
            Walaupun bukan merupakan wisata umum, tapi ada saja yang mampir ke lokasi danau ini. Kaolin merupakan salah kekayaan tambang pulau Belitung. Daya tarik tempat ini adalah perpaduan air danau yang berwarna biru dan warna kaolinnya yang putih. 



            Danau Kaolin menjadi akhir destinasi kami sebelum check in ke hotel. Perjalanan dari Danau Kaolin tidak lagi diwarnai dengan obrolan panjang seperti sebelumnya. Mungkin kami mulai lelah dengan kondisi badan yang belum mandi seharian. *tapi tetap harum lho … hihihi*

Om telolet Om ….
            Setelah masuk ke hotel dan meletakkan koper, kami ingin sekali menyaksikan matahari ternggelam di garis pantai. Setelah bersih-bersih, kami buru-buru menuju pantai yang letaknya tak jauh dari hotel tempat kami menginap.

Tak sempat melihat sunset
            Sayang sekali, kami tak sempat merekam detik-detik sunset itu. Sudah terlanjur senja. Selepas magrib kami kembali memutuskan untuk menikmati makan malam di salah satu kafe yang berjajar di depan hotel.
            Selesai makan malam, kami tergoda oleh kendaraan yang mirip odong-odong (di Bekasi saya tahu namanya odong-odong). Tingkah kami berubah seperti anak kecil. Kami tak sabar menunggu mobil dengan beberapa bak yang dirangkai beriringan, dihiasi lampu-lampu. Saat itu tiba-tiba ada yang berseru.
            “Om telolet Om …!”
            Sopir odong-odong serta-merta membunyikan klaksonnya sama seperti suara klakson bus-bus besar yang lewat di jalan tol. Dan, kami pun menaiki odong-odong untuk berkeliling menikmati suasana malam kota itu. 

Om ... telolet, Om! Hihihi
            Hari yang panjang dan melelahkan namun sekaligus menyenangkan akhirnya mengantarkan kami tidur dengan lelap untuk melanjutkan perjalanan esok hari. [Wylvera W.]
           

Bersambung ….


2 komentar:

  1. Alhamdulillah...subhanallah...akhirnya bisa mewujudkan keinginan yg sdh lama terpendam...melihat keindahan pantai2 di Bangka Belitung...terima kasih Wylvera Windayana dan Nuraida Tarigan yg sdh menjadi teman perjalanan yg menyenangkan...In Syaa Allah bisa travelling bersama lagi menuju tempat2 indah lainnya

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...