Laman

Kamis, 28 Desember 2017

Gerimis di Sydney



              Saya dan Kak Nuraida sudah sepakat untuk memulai hari kedua di Sydney dengan berangkat di waktu yang lebih pagi. Lokasi yang ingin kami kunjungi jaraknya lumayan jauh. Kami telah memasukkan Taronga Zoo (kebun binatang yang cukup populer di Sydney) dalam daftar destinasi. Kebun binatang ini berlokasi di daerah pesisir pantai pelabuhan Sydney (Sydney Harbour). Tempatnya bernama Mosman.

Sarapan pagi yang aduhai lezatnya
            Senin pagi itu, selepas menikmati hidangan sarapan yang lezat buatan Laila, kami siap berangkat dari stasiun Punchbowl menuju Circular Quay Station. Di tengah perjalanan dalam kereta, gerimis pun turun. Kami mulai ragu untuk tetap meneruskan rencana menuju Taronga Zoo dengan kapal Feri. Sambil berdoa agar hujan reda, kami akhirnya tiba di Stasiun Circular Quay. Kami langsung menuju loket penjualan tiket. Wah! Lumayan mahal ternyata paket tur menuju Taronga Zoo. Apalagi jika memaksakan ke sana dalam kondisi gerimis. Tidak bisa menikmati.

Rute kereta menuju CQ
            Setelah menghitung-hitung dan melihat cuaca juga kurang bersahabat, akhirnya kami membatalkan perjalanan menuju kebun binatang itu. Kami sempat berdiskusi sebentar sebelum memutuskan ke mana akan mengalihkan rute. Saya mencoba menawarkan ke Kak Nuraida untuk berkeliling naik kapal feri di atas Sydney Harbour. Tidak perlu menunggu lama, beliau menyetujui. Sebelum membeli tiket, saya terpaksa harus membeli jaket untuk berlindung dari gerimis yang masih betah membasahi kota Sydney. Jaket sederhana seharga 20 dollar Australia akhirnya jadi pilihan saya.
            Batal menuju kebun binatang, kami tak patah semangat. Masih ada alternatif lain yang bisa dinikmati dengan bujet murah. Sebenarnya banyak pilihan untuk menikmati Sydney di atas perairannya. Bisa dengan berlayar, ikut cruise trip atau naik jet boat. Dari semua pilihan itu, tetap saja yang paling murah adalah dengan transportasi umum (kapal feri). Tiketnya bisa dibeli terpisah atau terusan. Feri di Sydney tidak besar dan tidak mengarungi lautan lepas. Ukurannya kecil dan hanya menampung orang saja sebagai penumpangnya.
            Kami pun bergegas menuju loket penjualan tiket. Saya mencoba menawar tarif feri yang akan kami naiki. Siapa tahu bisa. Aha! Dari harga 30 dia memberi diskon dan meminta kami membayar 23 dollar Australia saja. Saya belum sempat ngecek apakah harga 23 dollar itu termasuk murah atau masih tergolong mahal. Pilihan mengalihkan rencana yang mendadak itu akhirnya kami nikmati saja dengan harga 23 dollar. Penjual tiket memberi informasi bahwa harga yang kami bayar akan membawa kami menyinggahi beberapa pelabuhan seperti Fort Denision, Watson Bay, Q Station, dan Manly lalu kembali lagi ke Circular Quay.

Gerimis di atas Manly Fast Ferry
            Perjalanan dengan Manly Fast Ferry pun dimulai. Kapal feri kami bergerak perlahan meninggalkan pelabuhan di kawasan Circular Quay.  Awalnya kami ragu untuk naik ke anjungan kapal. Khawatir basah. Namun saya tidak bisa menahan diri terlalu lama untuk duduk manis di lantai bawah feri. Saya memutuskan naik ke lantai atas. Gerimis yang masih betah membasahi Sydney Harbour tak membuat saya berhenti untuk mengabadikan objek.

Ini feri yang akan kami naiki
Dengan jaket murah-meriah dan sesekali berpayung, saya berhasil membidik spot-spot cantik yang sedikit diselimuti kabut. Opera House yang sehari sebelumnya sempat kami lihat, kini lebih jelas tampak bangunan fisiknya. Sydney Harbour Bridge pun terlihat megah dari atas anjungan kapal. Kak Nuraida akhirnya pun menyusul saya ke atas. Gerimis dan udara yang semakin dingin menembus jaket terpaksa kami abaikan demi merekam momen. 

Wefie di antara gerimis yang ... mengundang :v
Sydney Opera House tampak dari sisi laut
Berpose di depan Sydney Harbour Bridge
          Rute feri yang kami naiki tidak mengecewakan. Meskipun cuaca di atas pelabuhan bergerimis, kami tetap menikmati perjalanan di atas air yang sesekali berombak itu. Dari Circular Quay, feri melewati Fort Denision, sebuah  pelabuhan kecil yang dulunya lokasi bekas pertahanan, terletak di pusat Pelabuhan Sydney. Jarakanya dekat sekali dengan Botanic Garden. Fort Denision menjadi salah satu objek wisata utama di Sydney. Buat saya, perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar dua jam itu, menyuguhkan keindahan Sydney Harbour dari sisi lain. 

Feri melaju semakin menjauhi dua ikon Sydney itu
Kabutnya bikin suasana jadi terkesan romantis
"Pegang yang kuat ya, Kaaak ...!" :v
Feri terus bergerak dan akhirnya mampir di Watsons Bay, merupakan perpaduan unik dari pantai terpencil dan menjadi salah satu lokasi populer bagi wisatawan.  Kemudian feri melewati Manly Warf. Saya memerhatikan kapal-kapal kecil yang banyak berlabuh di sana. Ingin rasanya singgah dan menjelajah di sana tapi cuaca dan kapal feri tidak berhenti di dermaga itu. 
 
Ferinya mampir sebentar di sini lalu melaju lagi
Kapal-kapal kecil d sekitar Manly Warf

Rute Manly Fast Ferry yang kami naiki arahnya menuju Utara. Sesuai dengan namanya, feri ini akan bergerak menuju Manly. Di Manly ini terdapat pantai yang sesuai dengan namanya yaitu Manly Beach dan merupakan pantai paling populer di Australia. Letaknya persis di bentangan sepanjang pesisir Utara Sydney. Sayangnya kami tidak bertujuan turun di pantai itu karena kapal feri hanya berhenti sebentar saja katanya. 
 
Berusaha senyum saat ombak menggoyang kapal
Gak turun, fotoan pun jadi lah .... ;)

Dari Manly, feri kembali lagi menuju Circular Quay, tempat awal kami naik. Kali ini, saya hanya menikmati saja pemandangan dari dalam feri. Gedung-gedung, kota di sebelah Timur Sydney dan kapal-kapal kecil yang sedang berlayar menjadi pelengkap pemandangan di siang bergerimis itu.

Menuju Masjid Auburn Gallipoli
            Gerimis masih bertahan membasahi Sydney. Kami belum menunaikan salat Zuhur. Selesai menikmati pemandangan dari atas kapal feri, saya kembali mengajukan usul untuk mencoba mencari lokasi Masjid Gallipoli, masjid terbesar di Australia. Lokasinya berada di kawasan Auburn yang padat dengan komunitas muslimnya. Masjid Gallipoli ini katanya menjadi ikon bagi umat muslim di Auburn.
Ibu yang berdua itu senyum-senyum melihat model dadakan :p

Kami kembali memasuki area stasiun dan memilih platform yang menuju ke Auburn Station. Karena keretanya belum datang, kami menyempatkan berfoto-ria. Dua ibu yang duduk menunggu kereta mendadak tersenyum melihat tingkah kami. Salah satunya malah menawarkan diri ingin memoto saya dan Kak Nuraida. Dengan balas memberi senyum kami dengan halus menolak. Khawatir mendadak jadi model pula di Aussie. *dilarang ngikik*
Kereta pun tiba. Kami memilih duduk di gerbong bawah. Hanya beberapa saat berhenti, kereta kembali melaju menuju stasiun-stasiun kecil untuk berhenti menghantarkan para penumpangnya. Stasiun Auburn masih jauh. Kami kembali menikmati pemandangan dari balik kaca jendela kereta. Setengah jam kemudian, kereta pun berhenti di Auburn Station. 


Dari stasiun Auburn harus jalan lagi

Begitu turun dari kereta, saya kembali mengaktifkan google maps. Menurut google maps, untuk mencapi masjid, kami harus melanjutkan berjalan kaki sekitar enam menit dari stasiun. Sambil memegang hape dan mengikuti petunjuk arah, saya sesekali memotret spot menarik yang kami lewati dengan kamera kecil yang sengaja saya bawa.

Kota Auburn yang tenang
Tamannya basah jadi fotoan saja ya
Melewati toko cokelat Turki
Sambil mengamati sekitar saya memerhatikan pertokoan di pinggir jalan. Di kawasan Auburn ternyata tidak sulit menemukan restoran halal dan toko-toko yang menjual perlengkapan umat muslim. Namun kami tidak bertujuan mencari itu. Kami hanya ingin melihat masjidnya saja. Kami masih terus berjalan mengikuti petunjuk arah di hape saya. Mendekati area masjid, nuansa pemukiman muslim Turki semakin terlihat. Saya sempatkan untuk memotret beberapa rumah dan bangunan itu.

Salat di Masjid Gallipoli
            Kami pun sampai di depan masjid yang bangunannya didominasi cat berwarna biru. Saya yang senang browsing masjid-masjid dari negara-negara lain, langsung merasakan kemiripan antara Masjid Gallipoli dengan Masjid Biru di Istanbul, ibu kota Turki. Sambil mengambil foto bangunan masjid, saya memerhatikan model bangunannya yang memiliki gaya arsitektur Turki dan Ottoman. 


            Kami bergegas masuk karena ingin sekali salat di dalamnya. Seorang pria setengah baya mempersilakan kami menaiki tangga menuju tempat salat perempuan. Suasana masjid terlihat sepi karena waktu zuhur sudah berlalu. Setelah berwudhu di kamar mandi yang lumayan bersih, kami langsung menuju ruang salat yang dikhususkan untuk jema’ah perempuan.

Lantai atas tempat jema'ah Akhwat
Lantai bawah tempat jema'ah Ikhwan
            Masya Allah, ketenangan dan kenyamanan begitu terasa ketika saya melihat kebersihan tempat salat masjid itu. Setelah salat, rasanya tak ingin buru-buru meninggalkan masjid. Sambil memoto bagian-bagian masjid, saya juga sibuk browsing tentang sejarah masjid ini.

Lengkungan di bawah kubah yang indah
            Masjid Gallipoli ternyata dibangun oleh komunitas imigran asal Turki yang menetap di Auburn. Sementara nama masjid diambil dari kata Gallipoli yang merupakan sebuah kawasan di Turki. Saat Perang Dunia I, di tempat ini pernah terjadi perang yang melibatkan Turki dan Australia. Maka nama Gallipoli pun diambil sebagai upaya mempertahankan sejarah yang sama-sama pernah dirasakan oleh Turki dan Australia. 

Rasanya ingin berlama-lama di dalam masjid ini
Berfoto sekali lagi sebelum meninggalkan masjid
            Selanjutnya saya sibuk memerhatikan ukiran-ukiran kaligrafi yang bertuliskan “Allah”, “Muhammad”, dan potongan ayat-ayat Al Qur’an. Kekaguman dan rasa syukur karena diberi kesempatan untuk salat di masjid ini membaur dalam hati saya. Betapa Allah selalu memberi nikmat pada hamba-Nya. Saya berulang mengucap syukur dalam hati. 

Lokasi perumahan komunitas muslim Turki
Sambil menunggu kereta tiba
Karena sudah sore dan harus kembali ke Punchbowl, dengan berat hati kami akhirnya meninggalkan masjid. Kami kembali menyusuri jalan menuju stasiun Auburn. Langit masih mendung tapi gerimis sudah berhenti. Jalanan yang basah oleh gerimis meninggalkan kesejukan di hati saya. Sampai jumpa di catatan perjalanan berikutnya pada hari ketiga. Salam! [Wylvera W.]

Note: Catatan sebelumnya ada ada di sini

Sabtu, 23 Desember 2017

Hari Pertama di Sydney



          Saya dan Kak Nuraida (kakak kelas sekaligus teman jalan), ingin melakukan traveling bersama. Ada tiga negara yang menjadi target tujuan kami. Korea, Jepang, dan Australia. Namun, punya niat traveling dengan bujet murah-meriah adalah sesuatu yang tidak gampang untuk mewujudkannya. Ternyata rezeki itu bisa berpihak pada siapa saja.
Akhirnya kami memilih Australia karena kebetulan harga tiket promonya saat itu sesuai dengan bujet yang telah kami persiapkan. Dengan harga pergi dan pulang 6,8 juta rupiah, kami sepakat memilih Sydney dan Melbourne sebagai alternatif kota di Australia yang akan kami kunjungi.
Siap berangkat
Persiapan berangkat
            Setelah tiket pesawat dan visa di tangan, kami pun mencoba menghubungi teman (teman sekolah SMA suami saya dan Kak Nuraida) yang bermukim di sana.  Alhamdulillah, sambutannya luar biasa hangat dan penuh kekeluargaan. Fendi sangat welcome saat mendengar kami akan datang ke Sydney. Meskipun demikian, sebelum tiba di rumah mereka, tetap ada rasa sungkan di hati saya. Apalagi saya belum pernah bersua dengan istrinya. Rasa risih karena akan merepotkan tuan rumah tetap saja terselip di hati ini.  
                       
Terbang menuju destinasi pertama
            Persiapan untuk melakukan perjalanan selama seminggu pun sudah matang. Sore itu, kami siap terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju Kingsford Smith, Bandar Udara Sydney. Antrian di jalur maskapai Qantas belum begitu panjang. Saya dan Kak Nuraida jadi leluasa untuk mengabadikan momen kebersamaan kami saat itu. Dan ini bukan pengalaman perjalanan yang pertama buat kami. Sebelumnya kami juga pernah mengeksplor Bangka dan Belitung selama empat hari. Kenyamanan itu yang membuat kami ingin mengulang kembali momen traveling bersama ini.

Jadi model dadakan di bandara :p
            Karena perjalanan di malam hari, tak banyak yang bisa kami lihat di luar jendela pesawat. Tujuh jam berada di udara kami habiskan dengan kesempatan untuk tidur dan menonton film-film yang tersedia di penerbangan itu. Sesekali cuaca musim penghujan di Indonesia masih mewarnai kondisi penerbangan di udara. Saat penumpang lain tertidur lelap, saya sibuk melangitkan doa-doa keselamatan. Selebihnya mata saya yang sulit terpejam akhirnya dilelahkan oleh film yang saya pilih agar bisa tertidur. 

Sambutan hangat di Sydney
            Penerbangan selama sekitar tujuh jam membawa kami mendarat di Bandar Udara Sydney. Pagi itu waktu menunjukkan pukul 8 am. Ada sekitar empat jam perbedaan waktu antara Indonesia dan Sydney. Kak Ida segera menghubungi Fendi yang akan menjemput kami. Sementara saya mencuri waktu untuk membeli paket telepon. Saat menunggu transaksi, Fendi pun tiba. Kerinduan antara teman yang sudah dua puluh tahun lebih tak bertemu, begitu mewarnai suasana saat itu. Kak Nuraida dan Fendi adalah kakak kelas saya di zaman SMA dan sekaligus teman seangkatan suami saya juga. Terharu saya merasakan pertemuan yang sarat dengan lepasnya rasa rindu itu.

Saya dan Kak Nuraida sesaat sebelum terbang
            Tanpa berlama-lama, Fendi pun membawa kami ke rumahnya yang asri di kawasan Punchbowl. Rasa degdegan di awal keberangkatan yang saya rasakan kembali muncul. Saya belum mengenal istri dan anak-anak Fendi. Namun, masya Allah … sambutan yang tak kalah hangat kembali kami rasakan begitu pintu rumah itu terbuka. Anak-anak yang manis dan santun sigap menyambut kehadiran kami. Jabat tangan penuh hormat dari mereka membuat hati saya bergerimis. Indahnya ukhuwah.

Kamar yang sungguh memanjakan
Hidangan rumah yang maknyuuus ....
Rumah yang penuh kehangatan
            Laila, istri Fendi yang tidak hanya cantik parasnya, hatinya juga begitu baik memanjakan kami dengan hidangan sambutan. Lagi-lagi hati saya mengucap syukur dan berterima kasih untuk semua kenyamanan itu. Setelah melepas rindu dan saling bertukar kabar, kami meminta izin untuk menyegarkan badan. Fendi akan melanjutkan jam kerjanya. Walaupun hari itu hari libur, Fendi tetap mengambil pekerjaan tambahan di luar kerja tetapnya sebagai pegawai kantor pos. Lagi-lagi ia berpesan agar kami tidak perlu sungkan dan harus merasa seperti di rumah sendiri. Masya Allah ….

Mengunjungi Masjid Lakemba
            Sebelum berangkat ke Australia, Kak Nuraida menyerahkan pemilihan daftar destinasi kunjungan ke saya. Maka yang pertama saya pilih adalah kunjungan ke masjid. Dari hasil browsing, saya menemukan beberapa masjid yang tersebar di Sydney dan Melbourne. Saya mengajukan beberapa pilihan ke teman jalan saya. Akhirnya kami memilih 1 hingga 2 masjid yang sekiranya sempat kami datangi.
Masjid Lakemba tampak dari depan

            Hari pertama di Sydney, kami diantarkan oleh Laila menuju sebuah masjid besar di kawasan Lakemba. Nama asli masjid yang beridiri kokoh di atas lahan seluas sekitar 500 m2 ini adalah Masjid Imam Ali Bin Abi Thalib. Karena lokasinya berada di kawasan Lakemba, masjid itu lebih populer dengan sebutan Masjid Lakemba. Masjid yang bersih memanjang dengan kubah tunggal dan satu menara ini dibangun dan dikelola oleh muslim keturunan Lebanon (Libanese Australians). Masjid Lakemba merupakan salah satu masjid terbesar di Australia yang pembangunannya selesai pada tahun 1977. Menurut Laila, jema’ah masjid ini sebagian besar adalah muslim Lebanon atau muslim keturunan Lebanon yang tinggal di Australia.

Istirahat sejenak sebelum kembali ke masjid
            Karena waktu Zuhur belum tiba, kami belum bisa masuk ke dalam masjid. Akhirnya Laila membawa kami ke kawasan pertokoan yang letaknya tak jauh dari masjid. Dari kawasan pertokoan itu, kami meminta untuk berjalan kaki saja jika waktu zuhur tiba. Akhirnya Laila meninggalkan kami dan kembali ke rumahnya.
            Setelah “cuci mata” di beberapa toko yang menjual busana dan aksesoris, kami memutuskan untuk kembali ke masjid. Waktu zuhur ternyata sudah masuk. Saya memperhatikan para jema’ah yang bergegas memasuki masjid. Tidak terlihat jema’ah perempuan. Ada rasa ragu untuk masuk. Syukurlah, tidak berapa lama beberapa jema’ah perempuan pun akhirnya berdatangan. Kami mengikuti dari belakang karena belum tahu arah masuk untuk jema’ah akhwat (perempuan). 

Sesaat setelah sholat Zuhur
Jema'ah laki-laki di lantai bawah masjid
            Di bagian bawah bangunan masjid ada tempat wudhu dan toko penjualan kitab suci. Kami terus mengikuti jema’ah perempuan itu dan naik ke lantai atas. Di lantai itu ada kamar mandi dan tempat wudhu untuk perempuan. Kamar mandinya lumayan bersih. Setelah berwudhu, saya dan Kak Nuraida pun mengambil saf untuk memulai sholat berjema’ah. Tidak ada perbedaan tata cara sholat di masjid itu. Selain itu, saya merasakan kenyamanan dari sikap ramah yang ditunjukkan para jema’ahnya. Alhamdulillah, kami bisa sholat dengan khusyuk di masjid ini.

Menghirup segarnya udara taman Vaucluse House
            Selesai sholat di Masjid Lakemba, hari masih siang. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Vaucluse House di Wentworth Rd, Vaucluse, NSW 2030, Australia. 

Menunggu bus menuju Vaucluse House
            Sejujurnya kami tidak tahu di mana persisnya tempat yang akan kami tuju ini. Berbekal google maps, sesekali kami bingung menemukan halte pemberhentian bus tempat yang kami tuju. Terkadang perdebatan pun kerap terjadi di antara saya dan Kak Nuraida. Namun akhirnya kami akhiri dengan menertawakan kebingungan itu dan kami selalu berhasil juga sampai ke lokasi.
            Begitu bus yang kami tumpangi berhenti di halte terdekat dengan lokasi Vaucluse House, aroma sejuk area taman yang rindang langsung menyergap. Untuk mencapai bangunan yang masuk dalam kategori rumah warisan di Sydney ini, kami harus sedikit menyambung dengan berjalan kaki. Kami memasuki area taman yang masih bagian dari bangunan tersebut. Pepohonan rindang dan area yang bersih, memberi nuansa segar dan bikin hati betah.

Petunjuk arah menuju Vaucluse House
Di belakang saya itu, Vaucluse Tearoom
Jembatan kecil di taman Vaucluse House
         Kami memuaskan diri mengabadikan beberapa foto di lokasi taman Vaucluse House yang berada di sekitar tepian pelabuhan ini.  Rumah ini dulunya merupakan rumah mewah milik Charles Wentworth (Ketua Konstitusi Australia) dan Sarah, istrinya. Mereka tinggal di rumah ini bersama 10 orang anaknya (1827 – 1862). 

Vaucluse House diapit pepohoanan dan taman yang asri
Salah satu sisi bagian dalam Vaucluse House
            Rumah dan taman yang masih terawat dengan baik ini menjadi objek kunjungan wisatawan yang murah-meriah. Kami sibuk berfoto di taman yang terbentang cantik di atas lahan seluas 10 hektar. Sementara isi dalam Vaucluse House dipenuhi oleh perabotan dengan desain klasik abad ke-19. Mansion yang dibangun tahun 1803 ini mengadopsi gaya gothic.
 
Haltenya saja sudah bikin betah ;)
            Setelah puas mengambil foto dari segala sudut pandang, akhirnya kami harus memutuskan meninggalkan Vaucluse House. Bus yang tadi membawa kami ke lokasi ini masih lama datangnya. Kesempatan menunggu itu lagi-lagi kami gunakan untuk berfoto-ria. Asyiknya pergi berdua dengan selera yang sama ini menjadi pelengkap kebersamaan kami.

Barangaroo dan Sydney Harbour
            Hari itu masih sekitar jam lima sore. Langit musim panas masih memberi kesempatan bagi kami untuk menambah jam kunjungan. Di saat bingung menentukan ingin ke mana, tiba-tiba Fendi menelepon saya yang saat itu masih berada di bus. Fendi dan keluarganya ingin mengajak kami melihat suasana di sekitar Sydney Harbour dan Barangaroo.

Fotoan sambil menunggu jemputan
Di atas itu adalah Patung Ratu Elizabeth II (bukan yang berdiri lho ya:p)

            Sebenarnya, lokasi wisata paling populer di Sydney itu masuk dalam daftar hari kedua kami. Jadi, ajakan ini kami anggap sebagai pemanasan saja. Fendi berpesan agar kami menunggu di pinggir jalan tepat di depan Town Hall Station. Sambil menunggu penjemputan, kami gunakan waktu untuk memperhatikan suasana di sekitar stasiun yang ramai oleh orang lalu-lalang. Ditimpali oleh musisi jalanan yang menampilkan gerakan tari musik India yang menjadi pelengkap show-nya. Sesekali saya tersenyum melihat gerakan-gerakan eksotik dari penari laki-laki itu. 
            Mendekati jam 6 sore, mobil Fendi pun tiba. Kami bergegas naik. Di dalam mobil sudah ada Laila dan ketiga anak ganteng dan manis yang ikut serta. Kami langsung menuju Taman Kota Barangaroo, Sydney. Dari pelacakan sejarahnya, saya menemukan informasi bahwa Barangaroo merupakan nama seorang tokoh wanita suku Aborigin yang paling berpengaruh saat itu. Barangaroo sangat peduli pada gadis-gadis kecil di sana. Ia mengajar dan mengajak anak-anak itu bernyanyi, hingga mengenalkan budaya turun-temurun.





Saya, Kak Nuraida, Laila dan tiga buah hatinya
Tamannya bersih
           Di Sydney sebenarnya banyak lahan terbuka, termasuk taman-taman yang asri dan cantik. Salah satunya adalah Barangaroo yang terbentang di atas lahan seluas enam hektar. Kawasan yang berdampingan laut dengan tepian berkarang di New South Wales ini, menyimpan sejarah penting tentang Australia.

Tak puas hanya sekali foto :v
Saya dan Laila rehat sejenak di bangku Taman Barangaroo
            Katanya, dulu lokasi ini menjadi pelabuhan dan wilayah bagi warga asli Australia yang kita kenal dengan suku Aborigin. Dari kepentingan sejarah itu, pemerintah setempat mengambil inisiatif untuk mengembalikan serta menjaga kelestarian kawasan ini dengan menatanya sedemikan rupa. Taman Barangaroo berhasil menggabungkan pesona alam, pengetahuan, dan sejarah asli Australia.

Saya dan Meera (putri Fendi dan Laila) berlatar Sydney Harbour Bridge
Sydney Harbour Bridge di waktu senja
            Senja mulai menyentuh kaki langit. Kami masih ingin menghabiskan waktu. Dengan melanjutkan mampir di tepian pantai yang langsung bisa memandang bangunan populer, Sydney Opera House dan Sydney Harbour Bridge, hari itu saya benar-benar merasa puas. Matahari yang mulai tenggelam mempercantik tampilan langit saat itu. Momen cantik itu tentu saja tak kami sia-siakan untuk berfoto-ria.
Menyapa senja di tepi Sydney Harbour
            Seolah tak ingin melepas nuansa senja yang indah, saya terus-menerus menekan tombol kamera di hape. Klik! Klik! Beberapa foto menjadi saksi keindahan di senja itu.

Hari pertama di Sydney berakhir dengan sholat Isya di masjid
            Waktu maghrib sudah semakin dekat. Kami bergegas menuju masjid (maaf, saya lupa nama masjidnya). Menurut Fendi, agak sulit mendapatkan tempat parkir di sekitar masjid tersebut. Kami pun berkeliling dua kali hingga akhirnya menemukan lahan parkir yang sedikit jauh dari masjid.
            Kami bergegas berjalan kaki menuju masjid. Untunglah, masih ada waktu untuk menunaikan sholat maghrib sekaligus Isya khusus buat saya dan Kak Nuraida yang masih berstatus musafir. Mungkin karena sudah lelah, jadi saya terlupa tidak mengambil gambar di masjid itu. Dari masjid, Fendi masih membawa kami mengelilingi Sydney City. Seperti kota yang selalu ramai seolah tak mengenal waktu, Sydney City malam itu tetap terlihat hidup dan bergerak meskipun hari sudah mulai larut.
            Inilah catatan hari pertama kami di Sydney. Yang masih penasaran lanjutannya, tunggu saja ya. Sampai jumpa! [Wylvera W.]

Note: Lanjutannya ada di sini