Laman

Sabtu, 01 Oktober 2016

Menuju Tanah Haram dengan Visa Ziarah #2



            Saya dan suami beserta 41 jema’ah serta dua orang pendamping siap terbang dari Bandara Udara Soekarno Hatta menuju destinasi pertama, Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Dari KLIA pesawat yang kami naiki (Malaysia Airlines) bertukar menjadi Saudi Arabian Airlines menuju Bandar Udara Internasional Ninoy Aquino, Manila, Filipina.
Penerbangan yang menghabiskan waktu sekitar 3 jam 45 menit itu kami gunakan untuk beristirahat. Saya sendiri tidak bisa memejamkan mata dengan sempurna. Jujur saja, meskipun pemilik travel sudah menjelaskan dengan rinci bahwa akan aman-aman saja, kecemasan yang sempat terjadi di bandara Soeta sebelumnya masih menyisakan kekhawatiran. Terlebih destinasi berikutnya yang akan kami singgahi adalah Manila, Filipina. Hanya nasihat suami untuk tetap berprasangka baik kepada Allah SWT yang menjadi penguat hati saya. Ditambah keyakinan bahwa jika Allah sudah memilih hamba-Nya menjadi tamu di Baitullah, maka Insya Allah aral dan rintangan akan teratasi. Aamiin.

Tiba di bandar udara Manila, Filipina
            Akhirnya kami sampai di Bandar udara Filipina. Begitu masuk, mata saya langsung awas melihat sekitarnya. Di mana para jema’ah yang batal diberangkatkan itu? Begitu benak saya bertanya dengan lugu. Keresahan itu akhirnya tertepis dengan kewajiban sholat yang harus kami segerakan.
            Tidak ada tempat untuk sholat yang resmi. Akhirnya saya bertanya kepada salah seorang petugas dan meminta mereka memberi kami izin untuk memakai sebagian area yang biasa digunakan melintas oleh penumpang pesawat yang baru tiba. Alhamdulillah, laki-laki berseragam security bandara itu memberikan izin. Kami pun bergegas untuk sholat berjema’ah. 

Wajah berusaha tersenyum walau duduk terdampar di lantai bandara
            Setelah sholat, kecemasan baru mulai mengusik. Paspor yang saya tahu sempat diserahkan oleh pendamping (dari pihak travel) ke petugas imigrasi belum dikembalikan. Padahal kami sudah menunggu sekitar satu jam. Sesekali saya melihat kegelisahan di sikap pendamping kami (pemilik travel yang ikut mendampingi). Bisa dibayangkan, melihat sikapnya yang tak bisa menutupi kegelisahan itu, tentu akan berefek pada calon jema’ah yang jeli memperhatikan. Terutama saya yang memang sudah sempat mengalami kendala di Soeta. Namun lagi-lagi, kepasrahan dan doa-doa yang tak putus terus saya sisipkan di hati. Tidak ada yang bisa menandingi kehendak Allah SWT. Itu saja yang menguatkan hati saya dan suami.
            Demi menghalau rasa gelisah, para jema’ah mencari kesibukan masing-masing. Ada yang mengobrol, menikmati camilan yang dibawa dari tanah air, ada juga yang sekadar duduk bersimpuh di lantai bandara dan bersandar ke tembok untuk istirahat. Sementara saya, suami, dan beberapa teman jema’ah, memilih menikmati camilan ringan yang kami bawa sambil sesekali saling berucap semoga paspor dan izin melanjutkan penerbangan ke Riyadh segera diserahkan oleh petugas bandara.   


Tiba di Riyadh
            Setelah kurang lebih tiga jam menunggu dalam rasa cemas, akhirnya paspor dan izin melanjutkan penerbangan pun kami terima. Kami bergegas mengantri menuju pesawat. Ucapan syukur kembali berulang-ulang saya lantunkan di hati dan kembali berdoa semoga penerbangan menuju Riyadh yang akan menghabiskan waktu sekitar sebelas jam itu diberi kelancaran oleh Allah. Sementara untuk waktu sholat - alhamdulillah - bisa dikerjakan dengan baik dalam pesawat. 

Pemandangan lapangan udara di luar bis menuju pesawat
Kembali duduk di pesawat menuju Riyadh

            Layaknya penerbangan panjang, suasana di dalam pesawat hampir seragam. Tidak ada yang aneh untuk saya ceritakan. Hanya saja, beberapa calon jema’ah yang mungkin baru pertama kali menjalani penerbangan jarak jauh seperti itu, tentulah ada kecanggungan. Terlebih mereka yang sudah tua. Namun, alhamdulillah, masih bisa dimaklumi.   
Singkat cerita, kami pun tiba di Bandar Udara Internasional Raja Khalid (King Khalid International Airport). Semua penumpang pesawat diminta masuk dalam antrian pengecekan imigrasi bandara. Lumayan panjang antrian yang harus kami lewati. Pelajaran sabar dan ikhlas lagi-lagi diuji.
Tibalah giliran pengecekan paspor dan visa untuk saya dan suami. Ya Allah, kesabaran dan berusaha berprasangka baik kepada Allah kembali menguji kami. Saat tiba giliran saya, tiba-tiba petugas imigrasi meminta saya untuk duduk kembali di kursi yang terletak di belakang antrian. Sementara suami saya yang berdiri di belakang saya pun ternyata ikut diminta duduk kembali. Petugas imigrasi justru memanggil dua orang ibu yang membawa anak-anaknya serta satu keluarga untuk diperiksa paspor dan visanya.
Kecemasan baru tidak bisa saya bendung. Sampai akhirnya saya mengeluarkan usulan ke suami agar ia mencoba memberitahukan kalau kita adalah suami istri. Tidak akan membantu sebenarnya, tapi rasa cemas yang semakin kuat menguasai saya yang mendorong memberi usulan itu ke suami.
“Tolong, simpan prasangka negatif yang muncul di hatimu itu. Jangan menebak-nebak. Kita belum tahu kan alasan kenapa kita diminta duduk lagi. Tunggu saja dengan sabar dan tetap berprasangka positif. Ini sudah mendekati tanah haram. Prasangka kita adalah doa kita,” ujar suami menenangkan saya.
Setelah suami saya mengatakan nasihat panjang itu, saya tidak berani lagi berkomentar. Justru saya berusaha beristighfar sebanyak-banyaknya. Pendamping sekaligus pemilik travel yang mengetahui kalau kami masih tertahan di meja pemeriksaan imigrasi tiba-tiba muncul dari balik kaca pembatas antrian. Wajahnya kembali tegang melihat kami. Saya pasrah dan berserah diri sepenuhnya pada ketentuan Allah. Berusaha menepis rasa takut akan dipulangkan ke tanah air.
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, akhirnya petugas imigrasi kembali memanggil saya terlebih dahulu. Saya berdiri sambil berdoa melangkah ke arah kubikal yang membatasi kami. Terjawablah kembali kecemasan saya tadi. Mengapa kami ditunda untuk diperiksa, ternyata petugas imigrasi itu ingin mendahulukan ibu-ibu yang membawa anak dan keluarga yang membawa anak kecil. Alhamdulillah….
Tidak banyak tanya, dia meminta saya meletakkan tiga jari untuk stempel jari tangan. Hanya saja, walau tidak begitu paham bahasa Arab yang mereka gunakan, sedikitnya saya bisa mengerti ketika ia mengatakan ke temannya bahwa visa ziarah yang kami gunakan sah karena diberikan langsung oleh kerajaan Arab. Kira-kira begitulah isi obrolan mereka tentang visa kami.
Setelah semua calon jema’ah haji di rombongan kami selesai melewati pintu imigrasi bandara Riyadh, kami diminta untuk berkumpul pada satu tempat untuk menunggu bis jemputan. Kami harus pindah ke bandara yang melayani penerbangan domestik. Perjalanan kami berikutnya memang masuk dalam penerbangan domestik, yaitu dari Riyadh menuju Jeddah.

Tertinggal rombongan
Setelah kami menunggu hampir setengah jam, tiba-tiba saya dan dua orang teman dalam rombongan jema’ah ingin ke toilet. Inilah awal ketegangan baru yang akhirnya muncul kembali. Sebelum ke toilet saya sempat berpamitan pada suami. Tidak ada perasaan apa-apa saat itu. Kami pun bergegas menuju toilet bandara. Namun, saat keluar dari toilet dan kembali ke tempat berkumpul tadi, kami tidak lagi melihat rombongan calon jema’ah haji ada di sana, termasuk suami saya. Ya Allah, kepanikan baru tidak bisa terbendung. Kami ditinggal!
Saya berusaha menahan rasa panik dan mencoba berpikir jernih. Mengingat tidak semua orang di bandara itu yang lancar berbahasa Inggris, saya semakin berpikir keras untuk mencari jalan agar kami bisa terhubung dengan rombongan. Jangan ditanya tentang komunikasi via hape. Tidak mungkin, karena kami belum sempat menukar nomor atau fasilitas yang bisa digunakan di sana. Dua teman saya juga terlihat panik namun tetap berusaha tenang untuk membantu saya mencari jalan keluarnya.
Akhirnya saya mencoba menanyakan petugas bandara. Dia memberi hapenya untuk menghubungi suami saya. Tetap saja tidak bisa, karena suami saya juga belum mengaktifkan nomor yang bisa digunakan di sana. Saya menyerah dan meninggalkannya. Dalam kesulitan dan doa-doa, Allah selalu ada. Itu yang saya yakini sepenuh hati. Saya yakin, Allah jugalah yang mempertemukan kami dengan laki-laki berwajah Asia yang bisa berbahasa Inggris. Ternyata dia sempat melihat rombongan kami naik ke atas bis tadi. Ia mengatakan bahwa ada satu orang laki-laki yang masih menunggu dan kembali masuk ke dalam. Menurutnya, bis akan tiba sebentar lagi.
Dari informasi yang diberikannya, saya dan satu teman lagi mencoba mengikuti petugas angkut bandara yang membawa kami kembali naik ke lantai atas tempat penjemputan penumpang. Sementara teman saya yang satu lagi, saya minta tetap menunggu di bawah. Tiba-tiba saya sadar kalau bis yang akan menjemput itu pasti akan melewati tempat rombongan kami lagi. Tanpa menghiraukan panggilan petugas angkut itu, saya memutuskan untuk kembali ke tempat semula secepat mungkin. Teman saya berlari mengikuti saya menuruni tangga.
Ya Allah, prakiraan saya didengar Allah. Begitu kami turun, bis yang tadi menjemput rombongan jema’ah kami kembali datang. Laki-laki berwajah Asia tadi menyuruh kami bergegas naik karena bis itulah yang tadi telah menjemput rombongan kami. Tanpa berpikir panjang, kami setengah berlari menuju tempat pemberhentian bis itu dan melompat ke dalamnya. Saat menghela napas, kecemasan kami sempuran menguap. Pendamping (pemilik travel) ternyata ada di bis itu. Dan ia memastikan kalau kami bertiga adalah rombongan yang terpisah tadi kepada sopir bis.
Alhamdulillah … kami akhirnya bisa kembali pada rombongan. Saat itu, tidak ada yang tahu apa yang sudah kami alami barusan, termasuk suami saya. Saya sengaja menyimpan semua tragedi tertinggal di bandara internasional Riyadh itu demi menenangkan hati saya juga. Ada waktunya saya akan menceritakan semuanya. Dan inilah saatnya. Bisa jadi kalau kejadian itu termasuk ujian Allah. Saya harus perbanyak istighfar.

Tiba di Jeddah dan dam untuk yang pertama
            Penerbangan domestik tidak memakan waktu lama. Hanya sekitar satu jam, kami pun tiba di bandara Jeddah (King Abdulaziz International Airport). Kelelahan sangat jelas tergambar pada wajah-wajah teman satu rombongan kami. Sambil menunggu bagasi, saya berusaha meluruskan badan dan mengumpulkan energi. Perjalanan kami masih jauh menuju Mekkah. Ya, kami tidak ke Madinah tapi langsung ke Mekkah karena jadwal keberangkatan yang kami gunakan masuk dalam gelombang kedua. Jadi rutenya ke Mekkah terlebih dahulu untuk beberapa hari kemudian ke Madinah.

Masih harus naik bis bandara menuju pengambilan bagasi
Masih bisa tersenyum di dalam bis
            Tiba di Jeddah, tentulah yang dipertanyakan adalah tentang miqat. Ada beberapa pendapat yang berbeda dalam menjelaskan tentang wilayah miqat bagi jema’ah haji yang menggunakan penerbangan dan tiba di Jeddah. Tapi, pembimbing haji kami memilih bahwa Jeddah adalah berada dalam wilayah miqat. Orang yang datang ke Jeddah pasti telah melalui salah satu miqat yang telah ditetapkan Rasulullah saw. (berada dalam posisi sejajar dengannya baik di darat, laut maupun udara). Oleh sebab itu, tidak boleh melewati miqat itu tanpa pakaian ihram bagi laki-laki jika berniat menunaikan ibadah haji dan umrah.

Menunggu pengambilan bagasi
Saya tidak begitu memperhatikan apakah informasi untuk itu sudah disampaikan kepada seluruh calon jema’ah haji di rombongan kami atau tidak. Namun, saat landing, beberapa dari jema’ah calon haji ternyata telah mengambil miqat, termasuk saya dan suami. Inilah awal kendala dalam proses berhaji dengan visa ziarah. Visa yang kami gunakan tidak memperkenankan kami untuk berihram dari Jeddah. Oleh sebab itu, walaupun sudah mengambil miqat tidak satu pun laki-laki di rombongan kami yang diizinkan mengenakan pakaian ihram. Ini akan mempersulit kami ketika melewati pos-pos pemeriksaan saat memasuki Mekkah.
Satu-satunya solusi adalah jema’ah laki-laki di rombongan kami harus siap membayar dam (denda yang harus dibayar berupa biaya untuk hewan qurban karena melanggar amalan wajib, baik disengaja maupun tidak).  Dam (denda) tersebut tidak terkena pada jema’ah perempuan karena tidak ada ketentuan mengenakan pakaian ihram khusus pada perempuan. Begitu keterangan yang saya pahami.

Jantung bagai di roller coaster menuju Mekkah
            Semua jema’ah di rombongan kami sudah siap di dalam bis. Kami pun siap melanjutkan perjalanan dari Jeddah menuju Mekkah. Alunan talbiyah mulai terdengar di dalam bis.
“Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaikala Syarikalaka Labbaik, Innal hamda wanni’mata laka waal mulka La Syarikalak.”
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi pangilan-Mu. Sesungguhnya segala puji nikmat, dan segenap kekusaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Syahdu dan membuat hati saya bergerimis. Saya sangat menikmatinya dan tiba-tiba rasa rindu itu menyusup kuat.
            Ya Allah, kesyahduan itu tiba-tiba terusik. Mutawwif dan pendamping rombongan kami memberi aba-aba bahwa kami harus tetap tenang karena beberapa saat lagi akan mendekati pos pemeriksaan. Bisa saja petugas naik ke bis dan memeriksa secara acak paspor-paspor kami. Atau jika beruntung, kami bisa lewat dengan cepat dan nyaman.
            Betul saja. Bis kami pun berhenti di pos pemeriksaan pertama. Alhamdulillah, tidak terjadi sesuatu yang menyulitkan kami. Sambil menunggu pos pemeriksaan berikutnya, saya tetap melantunkan kalimat talbiyah dalam hati dan sesekali menyerukannya pelan. Demikian juga dengan suami saya dan beberapa jema’ah lainnya.
            Tibalah pada pemeriksaan paspor di pos kedua. Agak menegangkan karena beberapa dari kami diminta untuk menunjukkan paspornya. Setelah menunggu beberapa saat dengan jantung berdebar-debar, akhirnya paspor kami dikembalikan. Bis melaju lagi. Masih ada satu pos pemeriksaan lagi. Serasa naik roller coaster, jantung saya berlomba-lomba antara meresapi alunan kalimat talbiyah dan rasa cemas. Seperti inikah berhaji dengan visa ziarah? Pertanyaan itu tidak bisa saya tepis dari kepala. Begitu selamat dari pos pemeriksaan yang ketiga, semua jema’ah di dalam bis spontan mengucap, “Alhamdulillah … Allahuakbar!”
Masya Allah, saya benar-benar berusaha mulai menikmati setiap kejutan yang kami temukan dalam perjalanan awal berhaji ini. Bagi saya … pasrah, berserah, berdoa, berprasangka baik kepada Allah SWT benar-benar penolong yang mampu menguatkan dan meluruskan niat. Terlepas dari visa ziarah yang kami gunakan, saya tetap mengembalikan niat semula bahwa saya dan suami sungguh-sungguh ingin menggenapi rukun Islam yang kami yakini demi meraih ridho Allah dalam mengerjakan rukun haji ini. Selama di sana, saya terus memanjatkan doa agar Allah memudahkan proses pelaksanaan rukun haji berikutnya agar niatan kami tersampaikan dan bisa meraih haji mabrur. Aamiin.
 Salam…. [Wylvera W.]

8 komentar:

  1. Bener-bener kayak naik roller coaster, Mb Wiek :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menjadi pengalaman dan pelajaran untuk lebih banyak bersyukur ini, Mbak

      Hapus
  2. Ya Allah mbak... menegangkan banget.... alhamdulillah semua bs lancar sampai pulang ke tanah air ya mbak... :*

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah mba wi dan suami bisa menunaikan rukun islam kelima. Semoga kami pun bisa segera menggenapkan rukun islam. Aamiin.

    BalasHapus