Laman

Selasa, 15 Desember 2015

Terpancing si Pancong

 Saya tak pernah tahu kalau warung kopi yang sering saya lintasi itu menjadi tempat menarik untuk disinggahi. Tampilannya yang sangat sederhana dan malah terkesan sempit sangat tak menarik perhatian saya. Namun, suatu hari saya sempat tersenyum membaca nama warung itu. Dan, senyum saya tak berhenti sampai di situ. Saya terpancing untuk menyinggahinya.
Warkop Pancong namanya. Letaknya di Jalan H. Agus Salim, Bekasi, dekat dengan pintu rel kereta api. Namanya yang unik membuat saya berhenti sejenak dan melongok ke dalam. Ternyata sudah banyak anak-anak muda yang duduk serta menikmati jajanan yang kembali memancing selera. Naluri untuk bertanya-tanya pun muncul saat itu.
“Kami buka 24 jam,” ujar salah satu cucu pendiri Warkop Pancong itu. Itulah yang membuat warung ini beda dari warung-warung kopi lainnya yang ada di Bekasi. Tujuh karyawan yang semuanya masih keturunan Pak Atta (nama panggilan untuk pendiri Warkop Pancong), selalu membuat warung itu banyak dikunjungi  pembeli. Ketujuh cucu Pak Atta itulah yang bergantian melayani pelanggan mereka. Kue pancong di warung kopi itu sangat memikat selera, sehingga pelanggannya tak pernah berhenti datang untuk menikmati cita rasanya.
“Pembelinya banyak, dari anak-anak SMP, SMA, mahasiswa, ibu-ibu, dan bapak-bapak,” tambah cucu Atta lagi menjelaskan. Saya kagum pada kegigihan pemilik usaha Warkop Pancong itu. Bayangkan saja, sejak berdiri dari tahun 1985, warung ini tetap bertahan dan semakin hari semakin banyak dikunjungi oleh penikmatnya. Satu hal lagi, dibuka selama 24 jam, itu yang membuat Warkop Pancong jadi istmewa.
“Saya suka makan kue pancong di sini. Enggak pernah bosan. Enak sih, murah lagi,” ujar Noni, salah satu remaja putri yang memesan sepiring kue pancong serta es teh manis di sebelah saya. Memang betul, harga kue pancong relatif murah. Satu porsi kue pancong yang polos dihargai 4000 rupiah. Kue pancong dengan rasa keju atau cokelat, 6000 rupiah. Sementara untuk pancong dua rasa, cokelat dan keju hanya 8000 rupiah.
Sambil berbincang, mata saya sesekali menyapu kondisi warung itu. Warkop Pancong itu tak pernah sepi dari pembeli. Padahal, di situ hanya disediakan dua bangku kayu panjang yang diletakkan di sepanjang meja tempat memasak kue pancong. Sangat sederhana tetapi begitu memikat.
Pantaslah, setelah saya ikut mencicipi rasanya, saya baru tahu keistimewaan dari kue pancong buatan cucu Pak Atta itu. Kue yang mirip dengan kue pukis dan kue rangi ini memiliki tekstur lebih lembut. Rasanya memang legit, gurih, dan enak seperti yang dikatakan Noni tadi. [Wylvera W.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar