Laman

Rabu, 30 Agustus 2017

Kembali ke London




London merupakan kota yang menjadi destinasi impian banyak orang. Mimpi itu pula yang pernah saya simpan dengan manis beberapa tahun lalu. Alhamdulillah, di tahun 2012, pertama kalinya saya mendapat kesempatan menginjakkan kaki di kota London bersama suami. Dalam putaran waktu berikutnya, kesempatan kedua kembali menghantarkan saya, suami, dan anak-anak kembali ke kota itu di tahun 2014.  

Big Ben
            London adalah ibukota Inggris, United Kingdom. Kota ini juga dikenal dengan sebutan Greater London. Berada di tepian Sungai Thames, wilayah Tenggara pulau Great Britain. Mengunjungi kota London membuat saya bersiap menyusun rute. Menelusuri bangunan-bangunan bersejarah dan lokasi wisata yang namanya cukup mendunia. Ada empat landmark yang tercatat pada UNESCO World Heritage Site. Palace of Westmintser, Westminster Abbey, Tower of London, Kew Gardens, St Margaret’s Church, dan Royal Observatory Greenwich (penanda waktu Greenwich Meridian Time (GMT).
            Selain keempat di atas, landmark lain yang menjadi tujuan para wisatawan juga tak kalah menarik. Mulai dari Buckingham Palace, Tower Bridge, London Eye, Trafalgar Square, National Gallery, British Museum, The Shard, dan beberapa lainnya. Kota London saat ini menjadi kota modern dunia yang terkenal dengan seni, pendidikan, fashion, perdagangan, dan pariwisata. Semua destinasi wisata itu telah tercatat dengan baik di sini.

Efek anniversary
            Setelah dua kali mendapat kesempatan mengunjungi kota London, tentu saya tak pernah bermimpi kembali ke sana. Ternyata rezeki itu tidak selalu datang setelah bermimpi. Jika Allah sudah menentukan, maka tiada satu pun yang bisa menghalaunya. Begitu pula yang terjadi pada saya. Tanpa diduga, suami mengajak saya kembali ke London. Awalnya saya ragu. Tapi karena menduga ajakan itu sebagai bentuk kado ulang tahun pernikahan kami, saya pun mengiyakannya.
Walaupun ini sebuah kado istimewa, saya tidak ingin memberatkan suami. Bangga rasanya jika saya bisa ikut berkontribusi. Toh, kadonya untuk kami berdua juga 'kan? Saya pun menawarkan untuk menanggung sebagian kecil (catat: sebagian keciiil .... hahaha) biaya perjalanan dengan tabungan royalti dari profesi saya sebagai penulis. Alhamdulillah, suami tidak menolaknya.
Tanpa banyak diskusi, persiapan dan proses menuju ke sana pun kembali dijalani. Mulai dari pengurusan tiket, penginapan, dan visa, semua berjala lancar. Saya hanya terlibat di bagian pengurusan visa saja karena semua sudah diurus oleh suami. Tinggal menunggu hari keberangkatan.
            Sabtu, 19 Agustus 2017, saya dan suami kembali memulai perjalanan dari kediaman kami di Bekasi. Singapore Airlines, pesawat yang akan membawa kami menuju London akan berangkat sekitar jam lima sore dari bandara Soekarno Hatta.
Karena momen ini merupakan bagian dari perjalanan dinas, saya dan suami tidak terbang berdua saja. Ada dua staf beliau yang ikut serta. Alhamdulillah … tak sulit bagi saya untuk segera melebur dan akrab dengan mereka. Bahkan kami berempat duduk bersebelahan di dalam pesawat.

Tiba di London
            Penerbangan dari Soekarno Hatta – Changi Airport – London Heathrow Airport menghabiskan durasi sekitar tiga belas jam (tidak termasuk durasi menunggu saat transit). Saat kami tiba di bandara Internasional Heathrow, hari masih terlalu pagi. Sebelum menuju hotel tempat kami akan menginap, suami memutuskan untuk menukar kartu seluler. Semua kami selesaikan di bandara. Untuk tarif paketnya, silakan browsing saja, ya.*senyum*

Tiba di Heathrow
Setelah itu, kami membeli tiket yang bisa dipakai untuk moda transportasi selama berada di London. Karena membeli paket lebih praktis dan murah, tiket berbentuk kartu (oyster) yang kami beli berlaku untuk seminggu perjalanan. Kartu oyster bisa digunakan untuk perjalanan dengan bus dan tube (kereta bawah tanah) yang mengitari seluruh kota London.


Perjalanan di London pun dimulai dengan menaiki tube. Begitu memasuki gerbong, yang langsung terbayang di kepala adalah wajah anak-anak saya. Naluri Ibu tidak bisa ditepis. Kebersamaan kami saat ke London pada tahun 2014 tiba-tiba kembali berkelebat. Bibir saya menggurat senyum samar. Dalam hati saya memohon maaf pada kedua anak saya. Seandainya waktu dan rezeki datangnya sama-sama menghampiri kami berempat, perjalanan ini bisa kami ulang bersama pula. Semoga momen itu bisa diulang lagi. Aamiin.

Di tube yang tidak begitu padat oleh penumpang
Kembali ke rute perjalanan kami. Dari Heathrow station menuju King’s Cross St. Pancras tube station kembali menghabiskan waktu sekitar 45 menit. 
Tidak banyak perubahan yang saya rasakan. Kondisi tube dan suasana perjalanan masih seperti tiga tahun lalu. Style penduduk lokalnya juga masih seperti itu. Ada yang ramah, dingin, acuh tak acuh, serta sibuk pada dirinya masing-masing. Cara berbicara dengan aksen British kembali menjejak di telinga. Saya kembali menikmati nuansa itu.

Kereta terus melaju lalu berhenti di setiap stasiun yang dilaluinya. Selama sekitar 45 menit rasa kantuk yang ada bertukar dengan meresapi kenangan itu. Fabiayyi ala irobbikuma tukazziban.
Kami pun tiba di area penginapan. Masih harus menarik koper lagi menuju hotel. Lagi-lagi saya terbayang saat anak-anak saya kala itu ikut ngos-ngosan menarik koper mereka untuk naik dan turun tangga di stasiun bawah tanah ini. Ngos-ngosan itu justru menjadi cerita seru bagi kami setelahnya. Kenangan itu pula yang membuat saya lupa pada beban koper yang saya bawa saat ini. Bibir saya kembali tersenyum oleh kelebat kenangan itu. “London, I’m coming … again,” bisik hati saya.

St. Pancras Renaissance Hotel London
            Saya tidak sempat bertanya seperti apa hotel tempat kami menginap. Suami hanya bilang kalau kami akan menginap di dekat stasiun King’s Cross. Begitu sampai di depan hotel, jujur saja saya sedikit kaget. Merasa tidak percaya kalau saya akan ikut menginap di situ. Dua kali menyinggahi London, rasanya kami cukup nyaman menginap di sebuah penginapan sederhana. Sementara gedung yang kami datangi ini tampak begitu megah. Saya menyebutnya sebagai bangunan heritage. Kenyamanan seperti apa pula yang akan saya dapatkan?  

Di depan hotel

Sepertinya dulu hotel ini adalah bagian dari stasiun kereta King’s Cross St. Pancras jalur Internasional. Sayang jika tidak diabadikan dalam jepretan kamera hape. Klik! Saya pun berpose di depannya. Norak? Boleh jadi. *ngikik*
Kembali ke tampilan bangunan hotel. Buat ukuran tarif penginapan di kota London, St. Pancras Renaissance Hotel ini tentulah mahal dalam perhitungan saya. Untuk itu saya kembali mengucap syukur dalam hati. Allah memang sebaik-baik pemberi rezeki dan nikmat. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Hari itu adalah hari Minggu, 20 Agustus 2017. Suami saya dan rekannya belum ada jadwal. Setelah check in, kami tidak langsung masuk ke kamar karena waktunya belum tiba. Harus menunggu sekitar jam satu siang. Kami menitipkan semua koper dan memanfaatkan waktu untuk melanjutkan perjalanan ke kota lain.
Setelah menumpang di kamar mandi hotel untuk menukar pakaian dan sedikit menyegarkan badan, kami pun bersiap menuju destinasi berikutnya. Saya akan ceritakan catatan perjalanan menuju destinasi itu di sesi berikutnya. Kembali ke blog ini lagi jika masih penasaran yaaa ….  [Wylvera W.]

To be continued
          

4 komentar:

  1. Wahh menarik sekali mbak wylvera, jadi pengen ke london, tapi biayanya pasti selangit ya mbak. Eh btw kereta di london kayak KRL jabodetabek nggak mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cari tiket PP yang murah sepertinya ada setiap tahun, Mas. Kereta bawah tanah (tube) nya lebih tertib aja sih. :)

      Hapus
  2. Mbak Wik saya menunggu cerita yang di edensor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sabar ya Mbak. Lagi ada kerjaan yang harus didahulukan ini. Insya Allah, nanti akan saya lanjutkan cerita perjalanannya. :)

      Hapus